Mengenai Saya
Archive for Desember 2016
Untuk mensukseskan program berhenti merokok, terdapat tiga cara berhenti merokok yang dianjurkan Kemenkes:
1. Berhenti seketika
Hari ini Anda masih merokok, besoknya berhenti sama sekali. Bagi kebanyakan orang, cara inilah yang paling berhasil dilakukan.
2. Penundaan
Tundalah saat merokok. Misalnya pada hari pertama upaya berhenti, rokok pertama dihisap satu jam setelah buka puasa, jangan saat berbuka tiba langsung merokok. Besoknya, rokok pertama dihisap dua jam setelah berbuka. Lusa, rokok pertama dihisap tiga jam setelah berbuka. Lalu, esoknya empat jam sesudah berbuka dan baru keesokan harinya tidak merokok sama sekali. Masing-masing waktu penundaan bisa juga dilakukan berselang dua hari.
3. Pengurangan
Setiap hari, jumlah rokok yang dihisap dikurangi secara berangsur-angsur dengan jumlah yang sama sampai nol batang pada hari yang ditetapkan. Misalnya hari pertama 10 batang, lalu selang satu atau dua hari berkurang menjadi 8 batang dan seterusnya.
Untuk cara ini, sejak awal harus ditentukan pola penurunannya dan tanggal berapa berhenti menjadi nol. Sebaiknya, beri tahu keluarga atau kerabat tanggal konsumsi rokok menjadi nol agar mereka dapat membantu mengingatkan.
Selain tiga cara itu, Kemenkes juga memberi 7 tips agar program berhenti merokok ini bisa berjalan dengan lancar:
1. Anda harus punya motivasi. Bulatkan tekad dan tanamkan niat yang kuat termasuk hindari godaan untuk mulai merokok lagi.
2. Berhenti merokok seketika atau mengurangi jumlah rokok yang dihisap secara bertahap
3. Kenali waktu dan situasi di mana Anda paling sering merokok
4. Tahan keinginan merokok dengan menundanya
5. Olah raga secara teratur atau lakukan hal lain yang bermanfaat misalnya banyak minum air putih sambil mengambil napas dalam-dalam untuk mencegah keinginan merokok.
6. Mintalah dukungan dari keluarga dan sahabat
7. Jika dirasa perlu, berkonsultasilah dengan dokter atau tenaga kesehatan
Sebelumnya, Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi juga sudah menggalakkan program berhenti merokok di bulan Ramadhan ini dalam video yang diunggah ke situs YouTube. Dalam video itu, Menkes juga menyinggung hasil analisa terbaru tentang dampak rokok bagi kesehatan.
Menurutnya, penyakit yang berhubungan dengan rokok seperti gagal ginjal, kanker, tekanan darah tinggi, penyakit paru-paru, dan penyakit jantung serta pembuluh darah merupakan penyakit yang paling banyak membutuhkan biaya dari jaminan kesehatan masyarakat.
Menkes juga menekankan anak-anak yang tinggal dengan orang tua perokok atau hidup di lingkungan orang dewasa perokok rentan terkena penyakit paru-paru. Menkes berharap, berhenti merokok bisa menghindarkan anak-anak dari kerentanan tersebut.
Saat ini jumlah perokok di Indonesia diperkirakan mencapai 61,4 juta orang dan menempati peringkat ke-3 di dunia setelah India dan China. Tak hanya itu, 92 juta penduduk Indonesia terpapar asap rokok sebagai perokok pasif dengan 43 juta di antaranya adalah anak-anak. Sebanyak 67,4 persen laki-laki di Indonesia adalah perokok sedangkan pada perempuan sebesar 4,5 persen.
sumber: BNNP DKI JAKARTA
PBM (Program Berhenti Merokok)
A. Air Minum
1.
Permasalahan
Ratusan
sumur warga desa Pesarean, Adiwerna, Kabupaten Tegal tercemari limbah
pengolahan logam yang berada tak jauh dari pemukiman warga. Akibatnya untuk
kebutuhan sehari-harinya warga terpaksa menggunakan air ledeng milik PDAM
karena air sumur yang tidak dapat digunakan lagi. Banyak warga yang mengeluhkan
kondisi air sumurnya mulai berubah sejak tercemar limbah pengolahan logam dan
peleburan aki. Keluhan yang sering dilaporkan warga diantaranya air yang semula
jernih tiba-tiba berubah warna dan berbau tidak sedap, jika dimasak airnya
berbuih dan berasa anyir, air di sumur menjadi bau, berminyak dan terasa
lengket.
2.
Solusi
Sudah ada dan akan
segera direalisasikan yaitu pembuatan PDAM di Objek Wisata Guci yang lansung
bersumber dari mata air Gunung Slamet. PDAM yang akan dibuat ini rencananya
tidak hanya dialirkan untuk Kabupaten Tegal, tapi juga untuk Kota atau
Kabupaten sekitarnya, meliputi Kabupaten Brebes, Kota Tegal, dan Pemalang.
3.
Kritik
Limbah pengolahan logam
yang terletak dekat dengan pemukiman warga seharusnya mampu mengolah limbahnya
dengan baik jika tidak bisa mengolahnya setidaknya memisahkan diri atau pindah
lokasi agar jauh dari pemukiman warga supaya tidak mencemari air sumur warga.
4.
Saran
a.
Meningkatkan pengetahuan masyarakat agar
mengetahui mana air minum yang layak dikonsumsi dan mana yang tidak.
b.
Menggunakan air PDAM yang sudah
direalisasikan di Kabupaten Tegal.
c.
Limbah logam seharusnya diolah agar
tidak mencemari air sumur warga yang letaknya dekat dengan industri tersebut.
B. Air Limbah
1.
Permasalahan
Sentra
industri kecil tahu di Dukuh Pesalakan, Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Tegal
mempunyai 175 unit usaha dengan kapasitas kedelai yang diolah 6950 ton / hari.
Jumlah air limbah diperkirakan 140 m3 / hari. Jenis limbah yang
dihasilkan yaitu ampas tahu dan air limbah yang berasal dari bekas rendaman,
pencucian, dan sisa pengepresan ampas sisa pencetakan tahu. Namun karena
sebagian besar pemrakarsa yang bergerak dalam industri tahu adalah orang-orang
yang hanya mempunyai modal terbatas, maka pengolahan terhadap pengolahan limbah
industri sangat kecil, dan bahkan ada beberapa industri tahu yang tidak tahu
sama sekali dan langsung membuang limbah ke lingkungan seperti ke sungai.
2.
Solusi
Adapun solusi yang
telah diterapkan oleh pemerintah Kabupaten Tegal adalah memindahkan para pelaku
usaha di kawasan itu ke dalam Perkampungan Industri Kecil (PIK), yang jauh dari
pemukiman warga.
3.
Kritik
Kurangnya pengetahuan
pekerja dan pemilik usaha tahu dalam mengolah limbah industrinya menyebabkan
sungai disekitarnya menjadi tercemar padahal limbah tahu bisa diolah menjadi
makanan dan juga untuk makanan ternak, seharusnya pekerja dan pemilik usaha
tersebut mencari cara agar dapat memanfaatkan olahan limbah dari tahu.
4.
Saran
a.
Meningkatkan pengetahuan masyarakat
terutama para pekerja akan bahaya dan dampak limbah terhadap kesehatan serta
cara mengatasinya.
b.
Menjual ampas tahu kepada pembuat tempe
gembus atau untuk makanan ternak.
c.
Memanfaatkan limbah tahu sisa
penyaringan menjadi biogas.
d.
Pembangunan IPAL untuk pemecahan masalah
limbah tahu ini.
e.
Penyuluhan kepada pengusaha industri
agar mengetahui dampak negatif dari membuang limbah di sungai.
C. Sampah
1.
Permasalahan
Berdasarkan
data dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten Tegal tahun
2005-2025, produksi sampah pada tahun 2004 rata-rata sebanyak 345m3 / hari, dengan
sampah yang terangkat atau tertangani sebanyak 248,81 m3 / hari (72,12%).
Sebagian besar produksi sampah berasal dari sampah pasar (142,47 m3 / hari) dan
pemukiman (108,90 m3 / hari). Volume sampah tersebut 46,20% merupakan sampah
berupa daun dan 34,15% merupakan sampah berupa karet atau plastik. Produksi
sampah ini akan terus meningkat jumlahnya seiring dengan semakin bertambah
banyaknya penduduk. Permasalahanya masyarakat Kabupaten Tegal masih banyak yang
tidak mengetahui cara mengolah sampah rumah tangga yang ada.
2.
Solusi
Solusi yang sudah
diterapkan untuk mengatasi permasalahan sampah di Kabupaten Tegal yaitu
penarikan biaya retribusi sampah tiap bulannya pada seluruh rumah warga yang
menghasilkan sampah rumah tangga dan pengambilan sampah oleh petugas yang
dilakukan secara periodik yakni tiga hari sekali.
3.
Kritik
Sebagian besar sampah
di Kabupaten Tegal adalah sampah pasar, hal itu dikarenakan oleh warga yang
tidak atau malas membawa tas belanja ke pasar, padahal dengan membawa tas
belanja ke pasar barang belanjaan jadi mudah dibawa tidak seperti plastik yang
kecil dan mudah robek, selain itu sampah pasar atau plastik bisa jadi
berkurang.
4.
Saran
a.
Meningkatkan kesadaran warga dan peran
serta dalam menjaga kesehatan lingkungan dengan membuang atau mengolah sampah
rumah tangga yang dihasilkannya.
b.
Mengembangkan Tempat Pemrosesan Akhir
(TPA) di Kabupaten Tegal.
c.
Pembangunan Tempat Pemrosesan Sementara
(TPS) sampah di setiap Kelurahan atau Kecamatan.
d.
Pembangunan Tempat Pembuangan Akhir
sampah.
e.
Penyuluhan kepada masyarakat untuk
meningkatkan pengetahuan masyarakat akan pentingnya menjaga kesehatan
lingkungan.
f.
Disiplin kerja yang tinggi dalam diri
petugas pengambil sampah.
D. Sanitasi TTU (Tempat-tempat Umum)
1.
Permasalahan
Terminal
tawang alun, Kabupaten Jember masih terlihat keadaan sanitasi terminal yang
masih belum optimal, seperti kondisi tempat pengumpulan sampah sementara (TPS),
saluran pembuangan limbah cair dan drainase masih banyak sampah berserakan di
selokan. Untuk bagian Tempat Pengolahan Makanan (TPM), warung makan belum
menggunakan penutup makanan ataupun lemari, untuk pencahayaan dalam ruangan
loket dan ruangan tunggu belum optimal, untuk alat pemadam kebakaran tidak
tersedia alat pemadam kebakaran ditempat rawan terjadinya kecelakaan. Selain
permasalahan diatas, masih belum terlihat adanya sarana promosi higiene dan
sanitasi yang terpasang pada tempat strategis sehingga para pedagang,
pengunjung dan juga petugas mengetahui, memahami, dan mau membiasakan diri
berperilaku hidup bersih dan sehat serta dapat memanfaatkan fasilitas sanitasi
dengan benar.
2.
Solusi
Dilaksanakan perbaikan
sarana prasarana Terminal Tawang alun, selain itu warung makan yang ada di
terminal juga sudah mulai menggunakan penutup makanan atau lemari untuk
menutupi makanannya.
3.
Kritik
Kurangnya pemantauan
dari pemerintah Kabupaten Jember terhadap terminal Tawang alun yang kondisinya
memprihatinkan, seharusnya dilakukan pemantauan rutin.
4.
Saran
a.
Pihak terminal Tawang alun sebaiknya
memperbaiki jalanan yang tidak rata pada lingkungan luar bangunan dan halaman
parkir kendaraan pengunjung.
b.
Pihak terminal perlu mengadakan
pembersihan rutin pada bangunan ruang kantor, ruang tunggu penumpang dan ruang
loket.
c.
Pihak terminal perlu mengadakan
pengujian kualitas air bersih secara berkala selama 3 bulan sekali untuk
mencegah pencemaran lingkungan yang mungkin terjadi.
d.
Perlu adanya pengadaan sarana pos
kesehatan dan kotak P3K untuk memberikan pertolongan pertama pada pengunjung
terminal Tawang alun.
e.
Pengelola terminal Tawang alun perlu
mendapatkan pelatihan tentang hygiene sanitasi dan keamanan pangan di terminal
sesuai dengan ketentuan yang berlaku sehinggan dapat terpenuhi dengan baik.
E. Higenis Makanan
1.
Permasalahan
Masalah kurang higienisnya warung makan di wilayah Desa Caturtunggal Kec.
Depok Kab. Sleman. Temuan di lapangan menunjukan bahwa tingkat pendidikan tidak
mempengaruhi kebiasaan pencucian peralatan yang higienis. Maksudnya, tingkat
pendidikan para penjamah makan tidak berpengaruh terhadap kebiasaan mereka
dalam menjaga kehigienisan peralatan makan. Pengakuan responden dari hasil
wawancara peneliti menyebutkan bahwa mereka belum pernah mengikuti kursus
tentang higiene sanitasi makan dan belum pernah mendapat pembinaan dan
pengawasan instansi terkait. Oleh karena itu, penjamah makanan tidak mengetahui
peraturan dan persyaratan yang mengatur tentang higiene sanitasi makanan di
warung makan. Kenyataannya di lapangan sangat mengejutkan, banyak warung makan
yang jumlah piring terbatas. Keterbatasan jumlah piring tersebut menjadi alasan
mengapa perilaku perendaman sangat jarang dilakukan. Padahal dengan perilaku
perendaman, sisa makanan yang menempel atau mengeras (karena kemungkinan sudah
lama) dapat menyerap air sehingga menjadi mudah untuk membersihkan atau
terlepas dari permukaan alat. Perendaman yang efektif adalah yang memakai air
panas (60 oC) dan waktu yang diperlukan adalah 30 menit sampai
1 jam.
2.
Solusi
Solusi berupa tindakan preventif yang dapat dilakukan
oleh instansi terkait,dan pengelola warung makan. Upaya yang dilakukan dapat
berupa pembinaan dan pengawasan oleh Dinas Kesehatan Sleman dan juga melakukan
kursus higienis sanitasi makan bagi penjamah makan maupun pengelola warung.
Selain itu perlu diadakan sosialisasi tentang persyaratan higiene sanitasi
rumah makan atau warung makan dengan baik. Bagi pengelola warung makan
sebaiknya memasang poster atau tulisan tentang higiene sanitasi makan. Sehingga
diharapkan dapat menimbulkan kesadaran dan perilaku baik dalam menjaga kualitas
kehigienisan makanan.
3.
Kritik
Keterbatasan jumlah
piring dan belum adanya pengawas binaan instansi di warung tersebut. Selain itu
rendahnya pengetahuan pekerja atau pemilik warung yang belum mendapat binaan
terkait higenitas makanan yang menyebabkan masalah utama dalam permasalahan
higenitas makanan di warung tersebut. Seharusnya jumlah piring ditambah seiring
bertambahnya pembeli, agar proses dalam pencucian piring bersih dan higenis.
4.
Saran
a. Sebaiknya
diberikan pelatihan dan penyuluhan tentang higiene dan sanitasi makanan kepada seluruh
pemilik warung makan secara berkesinambungan.
b. Sebaiknya
dilakukan pengawasan dan pembinaan terhadap seluruh warung makan atau tempat
makan lainnya.
c. Perlu
adanya peningkatan pengetahuan warga sebagai konsumen makanan jajanan tentang
keamanan makanan.
d. Sebaiknya
jumlah piring pada warunng tersebut ditambah.
F. Perilaku Hidup Bersih
1.
Permasalahan
Kadar
coli tinja pada sungai besar di Kabupaten Tegal yaitu sungai gung. Batas normal
kadar coli tinja yang seharusnya 200 bakteri / 100 mm, data dari Kapedal
(Kepala Kantor Dampak Lingkungan Hidup) Kota Tegal menunjukan kadar coli tinja
sungai gung berkisar 9000-17000 bakteri / mm. Tingginya kadar coli tinja
tersebut merupakan salah satu penyebab penyakit diare yang semakin marak di
Kabupaten Tegal.
2.
Solusi
Sudah ada program dari
pemerintah yaitu program PHBS yang mengupayakan untuk memberdayakan anggota
rumah tangga agar sadar, mau dan mampu melakukan Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat sejak dini.
3.
Kritik
Kurangnya pengetahuan
warga setempat tentang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat dan rendahnya ekonomi
para warga sehingga tidak mampu mempunyai jamban dirumahnya yang menyebabkan
mereka BAB di sungai.
4.
Saran
a.
Menumbuhkan dan meningkatkam kesadaran
masyarakat akan pentingnya PHBS.
b. Instansi pemerintah setempat,
masyarakat, pendidikan dan lainnya harus diberi penyuluhan tentang PHBS.
G. Penyakit Berbasis Lingkungan
1.
Permasalahan
Pekerjaan
masyarakat Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Tegal yang mayoritas adalah konveksi
menyebabkan udara menjadi tercemar. Hal ini dikarenakan bahan-bahan yang
digunakan untuk membuat baju menghasilkan debu-debu atau partikel kecil yang
berterbangan di udara yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit ISPA. ISPA
merupakan penyakit yang paling sering dilaporkan di Puskesmas Adiwerna, hal ini
sangat mungkin terjadi karena sebagian besar rumah untuk tempat tinggal
masyarakat Kecamatan Adiwerna dengan rumah untuk memproduksi baju masih jadi
satu. Selain itu, semakin jarangnya pepohonan yang ditemukan di Kecamatan ini
juga memperparah pencemaran udara yang terjadi. hal ini tak lain disebabkan
oleh pemukiman penduduk yang semakin padat dan membutuhkan lahan yang lebih
luas untuk membangun rumah sehingga terjadilah penebangan pohon atau
penggusuran lahan pertanian.
2.
Solusi
Sebagian masyarakat
sudah menerapkan memisahkan tempat tinggal dan tempat usaha produksi baju.
Selain itu rencana yang sudah dilakukan untuk mengatasi ISPA yaitu dengan
pemeriksaan gratis pada masyarakat sekitar tempat konveksi baju setiap tahun
oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Tegal dan pelayanan pengobatan di Puskesmas
Adiwerna.
3.
Kritik
Banyaknya rumah warga
yang masih jadi gabung satu dengan proses konveksi baju yang menyebabkan kasus
ISPA semakin meningkat tiap harinya dikarenakan oleh kurangnya pengetahuan
penduduk setempat mengenai bahaya debu-debu atau partikel kecil dari bahan
pembuatan baju.
4.
Saran
a.
Melakukan reboisasi dengan menanam pohon
disekitar tempat konveksi.
b.
Menciptakan lingkungan tempat kerja yang
aman dan sehat.
c.
Pengaturan ruang dan cahaya serta udara
agar debu konveksi tidak terpusat di satu tempat.
Permasalahan Kesehatan Lingkungan dalam Masyarakat
Hipertensi yang saat ini merupakan penyakit yang umum terjadi di masyarakat kita, seringkali tidak disadari karena tidak mempunyai gejala khusus. Padahal apabila tidak ditangani dengan baik, hipertensi mempunyai resiko besar untuk meninggal karena komplikasi kardivaskular seperti stroke, jantung, atau gagal ginjal.
Hipertensi atau yang lebih dikenal dengan sebutan penyakit darah tinggi adalah keadaan dimana tekanan darah seseorang berada diatas batas normal atau optimal yaitu 120 mmHg unutk sistolik dan 80 mmHg untuk diastolik. Sistolik adalah tekanan darah pada saat jantung memompa darah kedalam pebuluh nadi (saat jantung berkontraksi).
Diastolik adalah tekanan darah pada saat jantung mengembang atau relaksasi. Penderita yang mempunyai sekurang-kurangnya tiga bacaan tekanan darah yang melebihi 140/90 mmHg saat istirahat diperkirakan mempunyai tekanan darah tinggi.
Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan darah arteri sistemik ang terjadi secara terus menerus. Meskipun konsep ini jelas, tekanan darah yang menyebabkan hipertensi ditentukan secara acak berdasarkan tekanan yang yang berkaitan dengan resiko statistik berkembangnya penyakit yang terkait hipertensi.
Tekanan darah seseorang dapat diklasifikasikan berdasarkan pada pengukuran rata-rata dua kali pengukuran sebagai berikut:
Seseorang dianggap normal, jika tekanan darah sistoliknya 120 mmHg dan tekanan darah diastoliknya 80 mmHg. Dianggap prehipertensi jika tekanan darah sistolik seseorang 120-139 mmHg atau tekanan darah diastoliknya 80-89 mmHg.
- Hipertensi tahap I, jika tekanan darah sistolik seseorang 140-159 atau tekanan darah diastoliknya 90-99.
- Hipertensi tahap II, jika tekanan darah sistolik seseorang 160 mmHg dan tekanan darah diastoliknya 100.
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dapat dibedakan menjadi:
- Hipertensi primer atau esensial. Penyebab hipertensi ini masih belum diketahui secara pasti penyebabnya. Tapi biasanya disebabkan oleh faktor yang saling berkaitan(bukan faktor tunggal/khusus). Hipertensi primer memiliki populasi kira-kira 90% dari seluruh pasien hipertensi.
- Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang disebabkan oleh penyakit lain sepeti kerusakan ginjal, diabetes, kerusakan vaskuler dan lain-lain. Sekitar 10% dari pasien hipertensi tergolong hipertensi sekunder. Resiko relatif hipertensi tergantung pada jumlah dan keparahan dari faktor resiko yang dapat dihindari dan faktor yang tidak dapat dihindari. Faktor-faktor yang tidak dapat dihindari antara lain faktor genetika, umur, jenis kelamin, dan etnis. Sedangkan faktor yang dihindari meliputi stress, obesitas, dan nutrisi.
Mengenal Hipertensi
ARTHROPODA
SEBAGAI VEKTOR
Disusun
untuk Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata
Kuliah Parasitologi
Dosen
Pengampu: Devi Octaviana, S.Si,
M.Kes
Drs. Kuswanto, M.Kes

Disusun
Oleh:
Kukuh
Sukmoro G1B012039
Andjani
Romanita Yuliani I1A015033
Retno Yollanda P I1A015064
Oktovany
Agmal Armanda I1A015083
Tri
Kurniawati I1A015085
Aulia
Mutiara Khoirunnisa I1A015105
KEMENTERIAN
RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS
JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS
ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN
KESEHATAN MASYARAKAT
PURWOKERTO
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Phylum
arthropoda yang tersebar luas dan bermacam ragam, mengandung lebih banyak
species daripada phylum lain yang termasuk alam binatang (Brown, 1979). Kata
artropoda (arthropoda) berarti “kaki
yang mempunyai sendi-sendi”. Hewan yang sering disebut sebagai serangga ini
adalah metazoa yang mempunyai tubuh yang bersegmen-segmen atau beruas-ruas
(Soedarto, 2011).
Arthropoda
bersifat simetri bilateral, badan beruas-ruas, umbai-umbai beruas dan mempunyai
eksosklet keras, terbuat dari chitine. Tubuh terdiri dari atas kepala, thorax
dan abdomen. Umbai yang berpasangan berubah menjadi kaki untuk berjalan pada
species yang hidup di darat dan menjadi kaki pengayuh pada yang hidup di dalam
air. Umbai-umbai pada kepala berubah menjadi alat peraba, alat pengayuh atau
alat penusuk. Mata arthropoda majemuk atau sederhana. Susunan pencernaan,
vaskularisasi, ekskresi dan saraf ditemukan pada arthropoda. Pernafasan pada
golongan yang hidup dalam air dilakukan dengan insang dan pada yang hidup di
darat dan udara dengan trachea, suatu tabung berasal dari lapisan luar yang
masuk kedalam. Kelamin biasanya terpisah dan reproduksi bersifat seksual,
walaupun parthenogenesis mungkin terjadi (Brown, 1979). Alat pencernaanya sudah
memiliki mulut dan anus dengan sistem eksresinya terbuka ke dalam saluran
pencernaan. System sirkulasi darahnya terbuka (open circulatory system) terdapat di bagian dorsal tubuhnya. Rongga
tubuh arthropodajuga bertindak sebagai rongga darah (haemocele) (Soedarto, 2011).
Arthropoda
terbagi dalam lima kelas: kelas Onychophora tidak merugikan manusia, kelas
Myriapoda hanya terdiri dari kelabang dan lengkibang yang beracun dan kelas
Crustacea terdiri dari banyak spesies, beberapa di antaranya mempunyai peranan
sebagai hospes perantara untuk zooparasit. Kebanyakan spesies yang merupakan
parasit atau vektor penyakit termasuk dalam kelas Insecta dan kelas Arachnida
(Brown, 1979).
Penyakit yang
ditularkan melalui vektor masih menjadi penyakit endemis yang dapat menimbulkan
wabah atau kejadian luar biasa serta dapat menimbulkan gangguan kesehatan
masyarakat sehingga perlu dilakukan upaya pengendalian atas penyebaran vektor
tersebut (Menkes, 2010). Vektor adalah organisme yang tidak menyebabkan
penyakit tetapi menyebarkannya dengan membawa patogen dari satu inang ke yang
lainnya. Vektor juga merupakan anthropoda yang dapat menimbulkan dan menularkan
suatu Infectious agent dari sumber Infeksi kepada induk semang yang rentan.
Bagi dunia kesehatan masyarakat, binatang yang termasuk kelompok vektor dapat
merugikan kehidupan manusia karena disamping mengganggu secara langsung juga
sebagai perantara penularan penyakit (Nurmaini,2001).
Arthropoda dapat menjadi vektor penular yang
aktif menyebarkan penyakit, atau sebagi hospes perantara (intermediate host) yang bertindak secara pasif menularkan penyakit.
Arthropoda yang bertindak sebagai vektor penular penyakit secara aktif akan
memindahkan mikroorganisme penyebab penyakit dari penderita pada orang lain
yang sehat. Cara penularan penyakit dapat terjadi secara mekanis atau secara
biologis (Soedarto, 2011).
B.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui pemgertian arthropoda secara umum.
2.
Untuk mengetahui ciri-ciri umum arthropoda.
3.
Untuk mengetahui klasifikasi filum arthropoda.
4.
Mengetahui epidemiologi, distribusi
geografis dan kondisi penyakit arthropoda sebagai penyebab vektor penyakit.
5.
Mengetahui morfologi arthropoda.
6.
Mengetahui siklus hidup dari arthropoda.
7.
Mengetahui tanda dan gejala penyakit
yang ditimbulkan akibat arthropoda.
8.
Mengetahui diagnosis yang harus
dilakukan dalam penanganan arthropoda.
9.
Mengetahui
cara pengobatan penyakit akibat arthropoda.
10. Mengetahui pencegahan yang harus
dilakukan agar tidak terjangkit penyakit yang disebabkan oleh arthropoda.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Arthropoda
Arthropoda berasal dari kata arthron yang berarti ruas,
dan podos yang berarti kaki. Arthropoda merupakan
hewan yang memiliki tubuh yang beruas-ruas atau bersegmen serta memiliki kaki
yang bersendi. Arthropoda berperan penting dalam dunia kedokteran sebagai
vektor penyebaran penyakit. Arthropoda merupakan vektor atau media yang
bertanggungjawab atas terjadinya penularan penyakit dari satu pejamu ke pejamu
lain. Arthropod-borne atau sering juga disebut sebagai vector borne merupakan
penyakit penting yang sering kali bersifat endemis maupun epidemis dan sering
menimbulkan bahaya kematian. Di Indonesia penyakit-penyakit yang ditularkan
melalui serangga merupakan penyakit endemis pada daerah tertentu, seperti demam
berdarah dengue, malaria, kaki gajah dan penyakit virus chikungunya yang
ditularkan melalui gigitan nyamuk aedes aegepty. Selain itu, penyakit saluran
pencernaan seperti disentri, kolera, demam tifoid, dan paratifoid ditularkan
secara mekanis oleh lalat rumah tangga (Chandra, 2006).
B. Ciri-ciri Umum Arthropoda
Menurut
Brown
(1979), arthropoda memiliki ciri-ciri umum sebagai berikut:
1. Arthropoda
bersifat simetri bilateral.
2. Badan
beruas-ruas, umbai-umbai beruas dan mempunyai eksosklet keras, terbuat dari
chitine.
3. Tubuh
terdiri dari atas kepala, thorax dan abdomen.
4. Umbai
yang berpasangan berubah menjadi kaki untuk berjalan pada species yang hidup di
darat dan menjadi kaki pengayuh pada yang hidup di dalam air.
5. Umbai-umbai
pada kepala berubah menjadi alat peraba, alat pengayuh atau alat penusuk.
6. Mata
arthropoda majemuk atau sederhana.
7. Terdapat
susunan pencernaan, vaskularisasi, ekskresi dan saraf pada arthropoda.
8. Pernafasan
pada golongan yang hidup dalam air dilakukan dengan insang dan pada yang hidup
di darat dan udara dengan trachea.
9. Kelamin
biasanya terpisah dan reproduksi bersifat seksual.
C.
Vektor
Menurut WHO (1993) vektor adalah seekor binatang
yang membawa bibit penyakit dari seekor binatang atau seorang manusia kepada
binatang lainnya atau manusia lainnya. Chandra (2006) menyebutkan bahwa vektor
adalah organisme hidup yang dapat menularkan agen penyakit dari suatu hewan ke
hewan lain atau manusia. Arthropoda merupakan vektor penting dalam penularan
penyakit parasit dan virus yang spesifik
Organisme
hidup yang dapat menularkan agens penyakit dari satu hewan ke hewan lain atau
ke manusia disebut sebagai vektor. Arthropoda merupakan vektor penting di dalam
penularan penyakit parasite dan virus yang spesifik (Candra, 2006). Arthropoda
yang bertindak sebagai vektor penular penyakit secara aktif akan memindahkan
mikroorganisme penyebab penyakit dari penderita pada orang lain yang sehat.
Cara penularan penyakit dapat terjadi secara mekanis atau secara biologis. Jika
penularan terjadi secara mekanis, arthropoda disebut vektor mekanis. Mikroorganisme yang ditularkan secara mekanis
selama berada di dalam tubuh vektor tidak bertambah jumlahnya dan tidak berubah
bentuk morfologinya. Sedangkan penularan penyakit secara biologis oleh
arthropoda yang bertindak selaku vektor
biologis, di dalam tubuh arthropoda mikroorganisme yang ditularkan berubah
bentuknyaatau bertambah jumlahnya (karena berkembang biak dalam tubuh
arthropoda), atau mengalami perubahan bentuk maupun jumlahnya. (Soedarto,
2011).
D. Arthropoda sebagai Penyebab Vektor Penyakit
1.
Nyamuk Aedes aegypti
a. Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Subphylum: Uniramia
Kelas : Insekta
Ordo : Diptera
Subordo : Nematosera
Familia : Culicidae
Sub family: Culicinae
Tribus : Culicini
Genus : Aedes
Spesies : Aedes aegypti
b. Morfologi
dan Daur Hidup

Gambar 1. Morfologi Aedes aegypti (Hasan,
2011).
Nyamuk Ae. aegypti (dewasa)
sangat berbeda dengan nyamuk jenis lainnya, sebab warna dari nyamuk ini lebih
hitam bila dibandingkan warna nyamuk jenis lain, misalnya culex. Dan bisa
diketahui dengan cepat dari kaki belakangnya. Dimana kaki belakang nyamuk ini
jelas sekali belang hitam putih (Hasyimi, 1993). Morfologinya
khas yaitu mempunyai gambaran lira (lyre-form)
yang putih pada punggungnya (mesonotum). Telur Ae.aegypti mempunyai dinding
yang bergaris-garis dan mempunyai gambaran kain kasa. Larva Ae. aegypti
mempunyai pelana yang terbuka dan gigi sisir yang berduri lateral.
Nyamuk betina meletakkan
telurnya di dinding tempat perindukannya 1-2 cm di atas permukaan air. Seekor
nyamuk betina dapat meletakkan rata-rata 100 butir telur tiap kali bertelur.
Setelah kira-kira 2 hari telur menetas menjadi larva lalu mengadakan
pengelupasan kulit sebanyak 4 kali, tumbuh menjadi pupa dan akhirnya menjadi
dewasa. Pertumbuhan dari telur sampai dewasa kira-kira 9 hari (Departemen FK
UI, 2008).

Gambar 2. Siklus hidup Aedes aegypti (Hopp, M.J & Foley,
J.A. 2001).
Nyamuk Aedes
aegypti mengalami metamorfosa sempurna, yaitu dari bentuk telur, jentik,
kepompong dan nyamuk dewasa. Stadium telur, jentik, dan kepompong hidup di
dalam air (aquatik), sedangkan nyamuk hidup secara teresterial (di udara
bebas). Pada umumnya telur akan menetas menjadi larva dalam waktu kira-kira 2
hari setelah telur terendam air. Nyamuk betina meletakkan telur di dinding
wadah di atas permukaan air dalam keadaan menempel pada dinding perindukannya.
Nyamuk betina setiap kali bertelur dapat mengeluarkan telurnya sebanyak 100
butir. Fase aquatik berlangsung selama 8-12 hari yaitu stadium jentik
berlangsung 6-8 hari, dan stadium kepompong (pupa) berlangsung 2-4 hari.
Pertumbuhan mulai dari telur sampai menjadi nyamuk dewasa berlangsung selama
10-14 hari. Umur nyamuk dapat mencapai 2-3 bulan (Ridad dkk., 1999).
c. Epidemiologi
Ae.aegypti
tersebar luas di seluruh Indonesia. Walaupun spesies ini ditemukan di kota-kota
oelabuhan yang penduduknya padat, nyamuk ini juga ditemukan di pedesaan.
Penyebaran Ae.aegypti dari pelabuhan ke desa disebabkan larva Ae.aegypti
terbawa melalui transportasi. Walaupun umurnya pendek yaitu kira-kira 10 hari,
Ae.aegypti dapat menularkan virus dengue yang masa inkubasinya antara 3-10 hari
(Departemen FK UI, 2008).
Di
banyak Negara tropis, virus dengue sangat endemik. Di Asia, penyakit ini sering
menyerang di Cina Selatan, Pakistan, India, dan semua Negara di Asia Tenggara.
Sejak 1981, virus ini ditemukan di Queensland, Australia. Di sepanjang pantai timur
Afrika, DBD juga ditemukan dalam berbagai serotipe. Penyakit ini juga sering
menyebabkan KLB di Amerika Selatan, Amerika Tengah, bahkan sampai ke Amerika
Serikat sampai akhir 1990an. Epidemi dengue di Asia pertama kali terjadi tahun
1779, di Eropa pada tahun 1784, di Amerika Selatan pada taun 1835an dan di
Inggris pada tahun 1922 (Widoyono, 2011).
d. Penyakit
Demam
Berdarah Dengue atau Dengue Hemorrhagic
Fever (DHF)
1. Tanda
dan Gejala
Gejala
klinis DHF berupa demam tinggi yang berlangsung terus menerus selama 2-7 hari
dan manifestasi perdarahan yang biasanya didahului dengan terlihatnya tanda
khas berupa bintik-bintik merah (petechia)
pada badan penderita. Penderita dapat mengalami syok dan meninggal (Departemen
FK UI, 2008). Manifestasi perdarahan dengan tes Rumpel Leede (+), mulai dari
petekie (+) sampai perdarahan spontan seperti mimisan, muntah darah, atau berak
darah hitam. Hasil pemeriksaan trombosit menurun (normal:
150.000-300.000 µL),
hematokrit
meningkat (normal: pria < 45, wanita < 40). Akral dingin, gelisah, tidak
sadar (DSS, dengue shock syndrome) (Widoyono,
2011).
2. Etiologi
Penyakit
DBD disebabkan oleh virus dengue dari kelompok Arbovirus B, yaitu arthropod-borne
virus atau virus yang disebarkan oleh arthropoda. Virus ini termasuk genus Flavivirus dari family Flaviviradae ( Widoyono, 2011).
3.
Mekanisme
Penularan
Nyamuk
dapat mengandung virus Demam Berdarah Dengue bila menghisap darah penderita.
Virus tersebut akan masuk ke dalam intestinum nyamuk. Replikasi virus terjadi
dalam hemocoelum dan akhirnya akan menuju ke dalam kelenjar air liur serta siap
ditularkan. Fase ini disebut sebagai extrinsic incubation periode yang
memerlukan waktu selama tujuh sampai empat belas hari (Soewondo
ES, 1998).
Penyakit Demam Berdarah
Dengue ditularkan oleh nyamuk Aedes
aegypti. Nyamuk ini mendapat virus Dengue sewaktu mengigit mengisap darah
orang yang sakit Demam Berdarah Dengue atau tidak sakit tetapi didalam darahnya
terdapat virus dengue. Seseorang yang didalam darahnya mengandung virus dengue
merupakan sumber penularan penyakit demam berdarah. Virus dengue berada dalam
darah selama 4-7 hari mulai 1-2 hari sebelum demam. Bila penderita tersebut
digigit nyamuk penular, maka virus dalam darah akan ikut terisap masuk kedalam
lambung nyamuk. Selanjutnya virus akan memperbanyak diri dan tersebar
diberbagai jaringan tubuh nyamuk termasuk didalam kelenjar liurnya. Kira-kira 1
minggu setelah mengisap darah penderita, nyamuk tersebut siap untuk menularkan
kepada orang lain (masa inkubasi ekstrinsik). Virus ini akan tetap berada dalam
tubuh nyamuk sepanjang hidupnya. Oleh karena itu nyamuk Aedes Aegypti yang
telah mengisap virus dengue itu menjadi penular (infektif) sepanjang hidupnya.
Penularan ini terjadi karena setiapkali nyamuk menusuk/mengigit, sebelum
mengisap darah akan mengeluarkan air liur melalui alat tusuknya (proboscis)
agar darah yang diisap tidak membeku. Bersama air liur inilah virus dengue
dipindahkan dari nyamuk ke orang lain (Faizah,2004).
4. Diagnosa
Menurut
Widoyono, 2011, kriteria klinis DBD yaitu:
a) Demam tinggi
mendadak tanpa sebab yang jelas dan berlangsung terus menerus selama 2-7 hari.
b) Terdapat
manifestasi perdarahan.
c) Pembesaran hati.
d) Syok.
Menurut Widoyono, 2011,
kriteria laboratoris DBD yaitu:
a) Trombositopenia
(<100.000/mm3).
b) Hemokonsentrasi
(Ht meningkat > 20%)
5. Pengobatan
Secara universal belum ditemukan adanya vaksin sebagai alat pencegahan
penyakit demam dengue maupun demam dengue berdarah ini. Sampai dengan akhir
tahun 2008 juga belum ditemukan obat yang secara efektif dapat mengobati
penyakit demam dengue. Dewasa ini telah ditemukan metode deteksi dini kasus
kasus demam berdarah dengan cara deteksi keberadaan virus, fraksi protein virus
Dengue atau antigen captured yang bisa mendeteksi hingga satu hari
sebelum demam. Teknik tersebut dikenal dengan deteksi NS1 – atau deteksi protein
non structural yang merupakan sisa sisa virus Dengue 1,2,3,4 ketika ber
replikasi. Bagi yang memberikan gambaran positif akan langsung diberi
pengobatan dengan antiviral DBD (Kemenkes RI, 2010).
Chikungunya
1. Etiologi
Virus chikungunya adalah virus yang termasuk
dalam genus virus alfa dari family Togaviridae.
Virus ini berbentuk sferis dengan ukuran diameter sekitar 42 nm (Widoyono,
2011).
2. Tanda
dan Gejala
Masa
inkubasi chikungunya adalah 2-12 hari dengan rata-rata 3-7 hari. Gejala
penyakit diawali dengan demam mendadak, kemudian diikuti munculnya ruam kulit
dan limfadenopati, artralgia, mialgia, atau arthritis yang merupakan tanda dan
gejala khas chikungunya (Widoyono, 2011). Sakit kepala seperti influenza dan
penderita mengalami kelumpuhan motorik yang tidak permanen (Departemen FK UI,
2008). Penderita dapat mengeluhkan nyeri atau ngilu saat berjalan kaki karena
serangan pada sendi-sendi kaki. Dibandingkan dengan DBD, gejala chikungunya
muncul lebih dini. Perdarahan jarang terjadi (Widoyono, 2011).
3. Mekanisme
Penularan
Cara penularan penyakit ini terutama ditularkan oleh nyamuk
Aedes aegypti, namunjuga dapat ditularkan oleh nyamuk Aedes albopictus. Kedua
jenis nyamuk ini sudah sangat kita kenai karena dapat juga menularkan penyakit
demam berdarah dengue. Penularan demam Chikungunya terjadi apabila penderita
sakit (dalam keadaan viremia) digigit oleh nyamuk penular, kemudian nyamuk
penular tersebut menggigit orang lain. Tidak dijumpai penularan dari orang ke
orang tanpa perantaraan nyamuk penular (Dian,2008).
4.
Diagnosa
a) Uji serologi .
Spesimen serum yang diperoleh dari pasien diuji untuk kehadiran virus - spesifik IgM dan IgG antibodi Chik menggunakan in- house dipstick ELISA kit. Karena gejala demam chik hampir sama demam berdarah , sampel serum yang diperoleh dari pasien dengan gambaran klinis mirip dengan Chik atau demam berdarah termasuk dalam penelitian ini . Selain itu , panel 20 sampel serum yang diperoleh dari individu yang sehat tanpa tanda-tanda dan gejala Chik atau demam berdarah dimasukkan sebagai kontrol negatif (V. Lakhsmi,et all, 2008).
b) Isolasi virus
Isolasi virus dicoba di C6 / 36 jalur sel dari 32 sampel plasma RT - PCR positif yang dipilih secara acak selama wabah. Isolasi virus dilakukan dengan menggunakan teknik virus adsorpsi. Singkatnya, monolayer konfluen sel tumbuh dalam botol kultur 25 cm2 teradsorpsi dengan 0,5 mL inokulum pada 37°C selama 2 jam. Setelah adsorpsi, inokulum diisi ulang dengan 8 mL medium pemeliharaan ditambah dengan 2% janin bovine serum . Cocok mock - terinfeksi kontrol sel juga diinkubasi untuk perbandingan peristiwa cytopathic . Sel diinkubasi pada 37 °C dan diamati setiap hari untuk efek sitopatik. Setelah pengamatan 80 % -100 % efek sitopatik, supernatan kultur terinfeksi diklarifikasi dengan sentrifugasi cahaya pada 2000 rpm selama 10 menit, yang selanjutnya dimurnikan dengan sukrosa gradien ultra sentrifugasi. Virus terisolasi dikonfirmasi untuk menjadi virus chik oleh RT – PCR (V. Lakhsmi,et all, 2008).
c) Tes Molekuler
Semua 296 sampel plasma diuji untuk kehadiran RNA virus-spesifik Chik oleh RT-PCR dan RT-LAMP. kontrol positif dan negatif termasuk dalam setiap menjalankan alat tes, dan semua tindakan pencegahan untuk mencegah kontaminasi silang yang diamati.
Untuk RT-PCR, RNA diekstraksi menggunakan QIAamp Viral RNA Mini Kit (Qiagen). Satu langkah RT-PCR dilakukan dengan menggunakan akses cepat RT-PCR Kit (Promega), sesuai dengan protokol pabrik, yang mempekerjakan pasangan primer menargetkan gen E1 dirancang dari urutan nukleotida referensi S27 regangan (GenBank aksesi nomor AF490259; CK 13, TTA CAT CAC GTG CGA TA C; CK-14, CTT TC TCT CAG GG TGC GAC TTT). amplifikasi dilakukan dalam volume total reaksi 50-uL dengan Promega Akses Cepat Satu-Langkah RT-PCR kit, dengan 50 pmol masing-masing maju dan mundur primer dan 2 uL RNA virus diekstraksi, sesuai dengan instruksi produsen. Profil termal RT-PCR adalah 48 ° C selama 45 menit dan 94 ° C selama 2 menit, diikuti dengan 35 siklus dari 94 ° C selama 30 s, 54 ° C selama 30 s, dan 72 ° C selama 30 s dan ekstensi akhir pada 72 ° C selama 10 menit.
RT-LAMP dilakukan pada volume reaksi 25-uL keseluruhan menggunakan Loopamp RNA amplifikasi kit (Eiken Kimia). The real-time monitoring dicapai dengan menginkubasi pada 63 ° C selama 60 menit dalam Loopamp real-time Turbidimeter (LA-200; Teramecs).
Real-time monitoring amplifikasi RT-LAMP virus Template Chik diamati melalui analisis spektrofotometri dengan merekam kepadatan optik pada 400 nm setiap 6 s, dengan bantuan dari Loopamp real-time Turbidimeter (LA-200; Teramecs). Nilai cutoff untuk positif untuk real-time assay RT-LAMP ditentukan dengan memperhitungkan waktu positif (di menit), di mana titik kekeruhan meningkat menjadi lebih dari nilai ambang batas (yang tetap pada 0,1, yang 2 kali lebih banyak dari nilai kekeruhan rata untuk kontrol negatif dari beberapa ulangan).
Setelah inkubasi pada 63 ° C selama 60 menit, 10-uL aliquot produk RT-LAMP diperiksa dengan elektroforesis pada 3% NuSieve 3: 1 agarosa gel (BMA) dalam buffer Tris-borat, diikuti dengan pewarnaan dengan etidium bromida dan visualisasi pada a transilluminator UV di 302 nm.
Untuk memfasilitasi penerapan bidang uji RT-LAMP, pemantauan RT-LAMP amplifikasi juga dilakukan dengan pemeriksaan mata telanjang. Setelah amplifikasi, tabung diperiksa untuk kekeruhan putih dengan mata telanjang setelah spin pulsa untuk deposit endapan di dasar tabung. Pemeriksaan untuk amplifikasi juga dilakukan dengan mengamati perubahan warna setelah penambahan 1 uL SYBR Green saya mewarnai untuk tabung. amplifikasi positif ditunjukkan oleh fluoresensi hijau, yang permanen dan yang dapat disimpan untuk tujuan rekaman.
d) Genotipe
The amplikon RT - PCR positif menjadi sasaran sequencing untai ganda dengan Big Dye Terminator Cycle Sequencing Siap Reaksi Kit pada ABI 310 sequencer ( Applied Biosystems ). Genotipe virus chik, berdasarkan parsial urutan gen E1 , ditentukan dengan urutan nukleotida dan dibandingkan dengan 30 lainnya secara global beragam chik isolat. Sebuah dendrogram dibangun dengan perbandingan berpasangan dari 340 urutan nukleotida gen E1 parsial ( posisi 10.254-10.503 , sehubungan dengan genom S27 ), yang diklasifikasikan semua isolat menjadi 3 genotipe yang berbeda. Pohon filogenetik dibangun dengan metode tetangga - bergabung, dengan analisis bootstrap 1000 ulangan, menggunakan software MEGA, versi 2.1.
5.
Pengobatan
a)
Pengobatan suportif
Istirahat tirah baring dilakukan untuk mempercepat
penyembuhan, bersama dengan penambahan vitamin yang meningkatkan daya tahan
tubuh. Penderita sebaiknya diberi minum yang cukup. Rehabilitasi dengan
fisioterapi untuk nyeri sendi juga perlu dipertimbangkan.
b)
Pengobatan analgetik
Obat antipiretik atau analgesic non aspirin daan anti
inflamasi nonsteroid (OAINS) diberikan untuk mengurangi demam dan rasa sakit
pada persendian serta mencegah kejang.
c)
Infus
Infus diberikan apabila perlu, terutama bagi penderita
yang malas minum ini berguna untuk menyeimbangkan cairan (Widoyono,2011).
Demam Kuning
Penyakit
ini belum pernah dilaporkan di Indonesia, walaupun Ae.aegypti yang menjadi vektornya tersebar di seluruh Indonesia. Di
Amerika Selatan dan di Afrika Selatan penyakit ini telah berpuluh-puluh tahun
yang lalu dilaporkan, yaitu sejak Walter Reed pada tahun 1900 di Kuba
membuktikan Ae.aegypti sebagai vector
penyakit demam kuning.
Gejala
klinis penyakit ini berupa pusing, nyeri punggung, demam dan muntah. Kematian
terjadi 5-8 hari setelah terinfeksi oleh virus demam kuning. Vektor utama demam
kuning adalah Ae.aegypti (Departemen
FK UI, 2008).
e.
Pencegahan
Menurut Departemen FK UI (2008),
pemberantasan Ae.aegypti dapat dilakukan terhadap nyamuk dewasa atau jentiknya.
a)
Pemberantasan Nyamuk Dewasa
Pemberantasan nyamuk dewasa, dilakukan dengan cara
penyemprotan (pengasapan= fogging) dengan insektisida, yaitu:
-
Organofostat misalnya malation, fenitrotion.
-
Peretroid sintetik, misalnya lamda sihalotrin, permetrin.
-
Karbamat.
b)
Pemberantasan Jentik
Pemberantasan jentik Ae.aegypti yang dikenal dengan istilah
pemberantasan sarang nyamuk (PSN), dilakukan dengan cara:
-
Kimia: pemberantasan larva dilakukan dengan larvasida yang dikenal dengan
istilah abatisasi. Larvasida yang biasa digunakan adalah temefos. Formulasi
temefos yang digunakan ialah granules (sandgranules). Dosis yang digunakan 1
ppm atau 10 gram (kurang lebih 1 sendok makan rata) untuk tiap 100 liter air.
-
Biologi: misalnya memelihara ikan pemakan jentik.
-
Fisik: cara ini dikenal dengan kegiatan 3M ( Menguras, Menutup, Mengubur)
yaitu menguras bak mandi, bak WC, menutup tempat penampungan air rumah tangga,
serta mengubur atau memusnahkan barang bekas.
2.
Nyamuk Anopheles
a. Klasifikasi
Phylum : Arthropoda
Classis : Hexapoda / Insecta
Sub Classis: Pterigota
Ordo : Diptera
Familia : Culicidae
Sub Famili : Anophellinae
Genus : Anopheles
b. Morfologi dan Daur Hidup
![]() |

Tubuh
nyamuk Anopheles terbagi menjadi tiga
bagian, yaitu kepala, dada, dan perut. Di bagian kepala terdapat sungut
(antenna). Antenna pada nyamuk jantan berambut banyak, sedankan pada nyamuk
betina berambut sedikit (Bruce-Chwatt, 1980). Di bagian kepala juga terdapat
alat mulut, dengan salah satu bagian mulutnya disebut proboscis. Di bagian dada
terdapat satu pasang sayap. Sayap nyamuk Anopheles
biasanya berbintik-bintik yang disebabkan oleh kelompok sisik-sisik yang
warnanya berbeda (Borror, et all, 1992). Bagian perut Anopheles terdiri dari delapan segmen. Segmen terakhir perut
termodifikasi menjadi alat perkawinan. Saat istirahat (hinggap) tubuh dan
proboscis membentuk satu garis lurus dan satu sudut dengan permukaan tempat
istirahat (Borror, et all, 1992).

Gambar. Siklus hidup Anopheles
Sumber: USU
Semua jenis nyamuk termasuk Anopheles
dalam siklus hidupnya mengalami 4 tahapan/fasa yaitu telur, larva, pupa,
dan dewasa. Ketiga tahapan pertama berada di perairan, umumnya pada habitat
yang terbuka atau teduh dari semua vegetasi termasuk sungai, kolam, danau,
sawah, cekungan-cekungan, parit yang mengalir dan tergenang, rembesan mata air,
jejak kaki hewan, saluran-saluran, rawa, atau kolam ikan (Harrison &
Scanlon, 1975).
c. Epidemiologi
Di bumi ini
diperkirakan terdapat sekitar 430 jenis Anopheles, tetapi hanya 30-40 spesies
yang berperan sebagai vektor malaria. Salah satu diantaranya adalah Anopheles
barbirostris Van der Wulf 1884. Penyebaran nyamuk Anopheles cukup
luas, di Asia menyebar di beberapa tempat yaitu Bangladesh, Cambodia, China,
India, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Pakistan, Sri Lanka, Thailand, dan
Vietnam (Stedman's Medical Spellchecker, 2006).
d.Penyakit
Malaria
1. Etiologi
Malaria disebabkan oleh
parasit sporozoa Plasmodium yang
ditularkab melalui gigitan nyamuk Anopheles
betina infektif. Sebagian besar nyamuk Anopheles
akan menggigit pada waktu senja atau malam hari, pada beberapa jenis nyamuk
puncak gigitannya adalah tengah malam sampai fajar (Widoyono, 2011).
2. Tanda
dan Gejala
Gejala penyakit malaria
pada umumnya muncul setelah beberapa hari parasit masuk ke dalam tubuh, diawali
dengan perasaan dingin, demam, panas tinggi, berkeringat dingin, dan menggigil.
Gejala seperti ini akan terjadi berulang tergantung dari jenis parasit yang
menginfeksi. Pada keadaan tertentu penyakit ini dapat menyebabkan kematian (Centers
for Disease Control and Prevention, 2010).
3. Mekanisme
Penularan
![]() |
Anopheles membutuhkan
gula dari nektar atau sumber lainnya sebagai sumber energi untuk mempertahankan
hidupnya, sementara itu khusus pada nyamuk betina membutuhkan juga darah untuk
perkembangan telurnya. Saat berlangsungnya pengambilan darah terjadi hubungan
antara parasit penyebab malaria, nyamuk sebagai pembawa, dan manusia sebagai
penderitanya. Hubungan ini terjadi melalui siklus hidup dari parasitnya.
Keberhasilan perkembangan parasit dari fasa gametofit dalam tubuh manusia
sampai dengan fasa sporosoit yang infektif dalam tubuh nyamuk tergantung dari
beberapa faktor, diantaranya suhu, kelembaban, serta lamanya hidup nyamuk
sehingga cukup bagi parasit untuk dapat menyelesaikan siklus sporogoniknya
dalam tubuh nyamuk.
Hubungan antara Plasmodium sebagai
parasit dengan Anopheles sebagai vektor dan manusia sebagai penderita
dalam penularan malaria dapat diamati dari bagan pertumbuhan Plasmodium dalam
tubuh nyamuk dan manusia. Parasit malaria merupakan hewan bersel satu
(Protozoa) yang termasuk dalam filum Sporozoa dan genus Plasmodium. Hampir
semua vertebrata dapat terinfeksi olehnya, tetapi setiap jenis vertebrata hanya
dapat terinfeksi oleh jenis Plasmodium tertentu (Service, 1996),
misalnya manusia hanya dapat diinfeksi oleh Plasmodium vivax, P.falciparum,
P.ovale dan P.malariae (Gullan dan Cranston, 1994; Sevice, 1996;
Rahman, Adanan, & Abu, 1997). Di dalam hati, Plasmodium dapat
bertahan dalam keadaan dorman selama bertahun-tahun, dan pada interval tertentu
dapat aktif kembali. Plasmodium vivax dapat aktif kembali setelah 2
tahun, sementara P. ovale aktif kembali setelah 4 tahun. Setelah berada
dalam tubuh nyamuk, Plasmodium dalam stadium gametofit berkembang hingga
menjadi sporozoit yang infektif (melalui siklus sporogonik). Perkembangan ini
membutuhkan waktu sekitar 10-18 hari tergantung dari suhu dan jenis Plasmodiumnya
(Sevice, 1996).
4. Diagnosa
Diagnosis malaria
ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan
penunjang. Diagnosis pasti dibuat dengan ditemukannya parasit malaria dalam
pemeriksaan mikroskopis laboratorium (Widoyono, 2011).
5. Pengobatan
Saat ini obat antimalaria
yang tersedia di Indonesia terdiri dari obat-obat lama seperti klorokuin,
pirimetamin sulfadoksin, kina dan primaquin, juga sudah ada beberapa obat baru
yang penggunaanya masih terbatas di daerah tertentu dan belum direkomendasi
secara luas oleh Depkes. Contoh obat baru tersebut adalah Kombinasi Artemisinin
dengan Naftokuin, dan Artemeter injeksi (Tjitra E, 2000).
Antibiotika yang bersifat
antimalaria seperti derivate Tetrasiklin, Doksisiklin, Klindamisin,
Eritromisin, Kloramfenikol, Sulfametoksazol trimetropin dan Quinolon. Obat ini
umumnya bersifat skizontosida darah untuk P.falciparum, kerjanya sangat lambat dan
kurang efektif. Oleh sebab itu, obat ini digunakan bersama obat antimalaria
lain yang kerjanya cepat dan menghasilkan efek potensiasi yaitu antara lain
dengan kina (Radlofi PD, et all, 1990).
e. Pencegahan
Pencegahan nyamuk Anopheles menurut Widoyono (2011),
yaitu:
a) Pola
perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) masyarakat harus selalu ditingkatkan.
b) Menemukan
dan mengobati penderita sedini mungkin akan sangat membantu mencegah penularan.
c) Melakukan
penyemprotan melalui kajian mendalam tentang bionomik Anopheles.
3.
Nyamuk Culex
a. Klasifikasi
Phylum : Arthropoda
Classis : Insecta
Subclassis : Pterygota
Ordo : Diptera
Subordo : Nematocera
Familia : Culicidae
Subfamilia : Culicianae
Genus : Culex
Spesies : Culex quinquefasciatus Say.
b. Morfologi dan Daur Hidup
![]() |
Gambar morfologi Culex
Sumber:
CDC
Morfologi
dari Culex, nyamuk non anophelini,
dikenali dengan memperhatikan bagian-bagian badannya. Sisik sayap Culex sempit dan panjang. Pada saat
stadium telur, telur Culex yang
diletakkan berkelompok membentuk rakit (raft)
dan kadang berbentuk menyerupai peluru senapan. Tabung pernapasan yang
mempunyai bentuk panjang dan sempir, terdapat pada stadium pupa yang digunakan
untuk pengambilan oksigen. Saat stadium dewasa nyamuk jantan, palpinya melebihi
panjang probosisnya, sedangkan nyamuk betina berkebalikannya (Despommier DD, et
all, 2000).
Daur Hidup
Metaforfosis
sempurna dialami oleh Culex ini, tetapi
pertumbuhan dari telur sampai menjadi dewasa waktunya lebih pendek sekitar 1-2
minggu. Tempat perindukan Culex ini
berbeda dari tempat perindukan nyamuk anophelini. Air jernih, maupun air keruh
dapat digunakan sebagai tempat perindukan nyamuk non-anophelini. Comberan
dengan air keruh dan kotor dekat rumah merupakan tempat perindukan Culex quinquefasciatus (Pei G, et all,
2002).
c.
Epidemiologi
Keberadaan Culex ini hampir tersebar di seluruh dunia, khususnya di daerah
tropis dan sub tropis. Spesies yang tersebar paling luas adalah Culex pipiens atau Culex quinquesfasciatus. Spesies lain lebih sedikit distribusunya,
seperti Culex tritaeniorhynchus hanya ditemukan di daerah sub tropis dan tropis
di Benua Asia dan Afrika. Culex gelidus
dan Culex lain dalam grup vishnnui, justru lebih sedikit dtemukan
di Asia Selatan, Indocina dan India. Sedangkan Culex tarsalis banyak ditemukan di daerah Amerika Utara (Heni,
2007).
d. Penyakit
Japanese
B.encephalitis
Japanese-B-encephalitis
(JE), merupakan salah satu penyakit arbovirus yang bersifat zoonosis dan dapat menyebabkan
radang otak. Penyakit ini disebabkan oleh virus JE dari Famili Flaviviridae (Burke,
Leake, 1988). Nyamuk telah diketahui memainkan peranan yang penting sebagai
vektor penularan penyakit JE baik dari hewan ke hewan maupun dari hewan ke
manusia. Pada manusia, infeksi JE umumnya menyerang anakanak dan menyebabkan
radang otak yang dapat berakibat sangat fatal, sedangkan pada babi, gejala yang
dihasilkan umumnya tidak nampak. Beberapa spesies nyamuk yang telah dibuktikan
bertindak sebagai vector JE diantaranya adalah C. tritaeniorchynchus, C.
bitaeniorchynchus, C. vishnui, dan C. fuscocephalus (Simpson et al.,
1974; Benarjee et al., 1978). Di Indonesia, JE pada ternak belum
menimbulkan masalah yang besar. Hal ini disebabkan oleh gejala klinis
yang ditimbulkan pada ternak tidak menunjukkan ciri-ciri yang khas sehingga tidak
dapat terdiagnosa. Untuk mendiagnosa infeksi JE diperlukan perangkat
laboratorium yang sensitif and cepat. Uji yang paling banyak digunakan untuk mendeteksi
antibodi JE diantaranya uji HEMAGLUTINASI INHIBISI (HI).
Penyakit
ini ditemukan di Asia Tenggara yaitu Filipina, Kamboja, Muangthai, Malaysia dan
Singapura. Di Indonesia Japanese
B.encephalitis belum banyak dipelajari, tetapi ada
kemungkinan besar, bahwa penyakit ini ada di Indonesia karena: 1) banyak kasus
meninggal dengan gejala klinis yang sama dengan Japanese B.encephalitis, 2) kepadatan nyamuk yang menjadi vector
tinggi dan telah dapat diisolasi virus Japanese
B.encephalitis dari nyamuk yang ditangkap di sekitar Jakarta (Indrawati,
2003).
Gejala klinis penyakit ini berupa demam, sakit
kepala, mual, muntah, lemas, malaise dan mental
disorientation. Kematian terjadi 2-4 hari setelah terinfeksi virus Japanese B.encephalitis (Departemen
FK UI, 2008).
e. Pencegahan
Pencegahan nyamuk Culex menurut Widoyono (2011) yaitu:
1) Menghindari
gigitan nyamuk dengan memasang kelambu, menggunakan obat nyamuk oles, memasang
kasa pada ventilasi udara, dan menggunakan obat nyamuk bakar atau obat nyamuk
semprot.
2) Pemberantasan
tempat perkembangbiakan nyamuk melalui pembersihan got atau saluran pembuangan
air, pengaliran air tergenang, dan penebaran bibit ikan pemakan jentik.
4.
Lalat
a. Klasifikasi
Lalat
Lalat merupakan salah satu insekta (serangga)
termasuk dalam ordo diphtera yang mempunyai sepasang sayap berbentuk membran
dan saat ini diseluruh dunia dapat dijumpai sekitar ± 60.000 –
100.000 spesies lalat (Santi, 2001).
Lalat diklasifikasikan
sebagai berikut :
Kingdom
: Animalia
Phylum
: Arthropoda
Class
: Hexapoda
Ordo
: Diptera
Family
: Muscidae, Sarchopagidae, Challiporidae, dll.
Genus
: Musca, Stomoxys, Phenisia, Sarchopaga, Fannia, dll.
Spesies
: Musca domestica, Stomoxy calcitrans, Phenesia sp, Sarchopaga sp, Fannia
sp,dll
Jenis Species dari Tiap-tiap Kelas Flies (Lalat)
adalah Houseflies (lalat rumah, Musca domestica), Sandflies (lalat pasir,
genus Phlebotomus), Tsetse flies (lalat tsetse, genus Glossina), Blackflies
(lalat hitam, genus Simulium) (Kartikasari, 2008).
b.
Epidemiologi
Lalat merupakan
serangga yang bersifat fototropik yaitu menyukai cahaya. Pada malam hari tidak
aktif, namun dapat aktif dengan adanya sinar buatan. Efek sinar pada lalat
tergantung sepenuhnya pada temperatur dan kelembaban. Jumlah lalat akan meningkat
pada temperatur 20 oC – 25 oC dan akan berkurang
jumlahnya pada temperatur < 10 oC atau >49oC serta
kelembaban yang optimal 90%. Pada siang hari lalat bergerombol atau berkumpul
dan berkembang biak disekitar sumber makanannya. Penyebaran lalat sangat dipengaruhi,
oleh cahaya, temperatur, keleembaban. Untuk istirahat lalat memerlukan suhu
sekitar 35 o - 40o C, kelembaban 90%.
Aktifitas terhenti pada temperatur <15oC (Komariah, 2010).
c. Morfologi
Pada
umumnya berukuran kecil,sedang sampai berukuran besar, mempunyai sepasang sayap
di bagian depan dan sepasang halter sebagai alat keseimbangan di bagian
belakang,bermata majemuk dan sepasang antena yang seringkali pendek
terdiri atas tiga ruas. Mata lalat jantan lebih besar dan sangat berdekatan
satu sama lain sedang yang betina tampak terpisah oleh suatu celah dan
berbentuk lebih besar daripada lalat jantan (Santi,
2001).
d.
Siklus Hidup Lalat
Siklus hidup lalat berlangsung
melalui metamorphose sempurna dari mulai telur, larva, pupa dan akhirnya
menjadi dewasa (Santi,
2001).
a. Telur
Telur
yang dihasilkan berbentuk oval, berwarna putih dan berukuran 10 mm dan bisa
mengelompok sebanyak 75-150 telur setiap kelompoknya. Telur diletakkan pada
bahan bahan organik yang lembab (sampah, kotoran binatang dan lain-lain) pada
tempat yang tidak langsung kena sinar matahari dan biasanya telur menetas
setelah 12 jam, tergantung dari suhu sekitarnya.
b. Larva atau tempayak
Tingkat
I : Telur yang baru menetas, disebut istar I berukuran panjang 2 mm, berwarna
putih, tidak bermata dan berkaki, amat aktif dan ganas terhadap makanan,
setelah 1-4 hari melepas kulit keluar istar II. Tingkat II : Ukuran besarnya 2
kali instar I, sesudah satu sampai beberapa hari, kulit mengelupas keluar
instar III. Tingkat III : Larva berukuran 12 mm atau lebih, tingkat ini memakan
waktu sampai 3 sampai 9 hari. Larva diletakkan pada tempat yang disukai dengan
temperatur 30- 35 0C dan akan berubah menjadi kepompong dalam waktu 4- 7hari.
c. Pupa atau kepompong
Kepompong
lalat berbentuk lonjong dan umumnya berwarna merah atau coklat. Jaringan tubuh
larva berubah menjadi jaringan tubuh dewasa. Stadium ini berlangsung 3-9 hari
dan temperatur yang disukai ± 350C, kalau stadium ini sudah selesai, melalui
celah lingkaran pada bagian anterior keluar lalat muda.
d. Lalat dewasa
Proses
pematangan menjadi lalat dewasa kurang lebih 15 jam dan setelah itu siap
mengadakan perkawinan. Umur lalat dewasa dapat mencapai 2-4 minggu.

e.
Patologi
Arthropod-borne
Diseases Berdasarkan Jenis Vektornya
No.
|
Vektor
|
Penyakit
|
1
|
Lalat
Rumah
|
Thypus
abdominalis, salmonellosis, cholera, dysentry bacillary dan amoeba,
tuberculosis, penyakit sampar, tularemia, anthrax, frambusia, conjunctivitis,
demam undulans, trypanosomiasis, spirochaeta
|
2
|
Lalat
Pasir
|
Leishmaniasis,
demam papataci, bartonellosis, demam phletobomus
|
3
|
Lalat
Tsetse
|
Trypanosomiasis,
penyakit tidur
|
4
|
Lalat
Hitam
|
Oncheocerciasis
|
Sumber: Chandra,
2006
f. Pengendalian lalat
Menurut Santi (2001), pengendalian lalat dapat dilakukan dengan beberapa
cara yaitu :
a. Tindakan-tindakan
penyehatan lingkungan
Tindakan ini bertujuan melenyapkan
semua tempat-tempat pembiakan lalat yang ada
dan yang potensial,
disamping usaha mencegah transmisi penyakit.
Tindakan-tindakan
yang perlu diambil meliputi :
1) Melenyapkan
atau memperbaiki semua kakus-kakus dan cara-cara pembianang
excrota manusia yang tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan, terutama yang memungkinkan lalat
langsung berkotak dengan excreate manusia.
2) Sampah harus dibuang dalam tempat sampah
yang tertutup.
Cara
pembuangan sampah harus tidak memungkinkan sampai sampah menjadi sarang lalat. Cara yang baik
ialah sanitary landfill dan incineration. Pada
Sanitary Landfill tanah yang menutup lapisan sampah harus didapatkan supaya lalat yang keluar dari pupa yang
sudah ada tidak bisa menembus keluar
tanah yang padat itu.
3)
Industri dan perusahaan-perusahaan pada
mana terhadap kumpulankumpulan kotoran
hewan atau zat-zat organik lain yang bisa menjadi tempat pembiakan lalat harus ditimbun dan
membuangnya dengan cara yang mencegah
pembiakan lalat didalamnya. Ini berlaku untuk abattoir, peternakan ayam, babi dan hewan lain,
perusahaan-perusahaan makanan dan
semua perusahaan-perusahaan yang menghasilkan sisa-sisa sayuran dan bahan dari hewan .Juga sewage-treatment
plant harus diawasi terutama tentang
cara-cara pembuangan kotoran yang tersaing dan sludge.
4)
Rumput dan tumbuhan-tumbuhan liar
merupakan tempat perlindungan untuk lalat
dan membuat usaha fogging atau misting dengan insektisida kurang effektif. Disamping itu rumput yang tinggi
dapat menutupi timbunantimbunan dari
zat-zat organik yang bisa menjadi tempat pembiakan lalat. Karena itu rumput harus dipotong pendek
dan tumbuhan-tumbuhan liar dicabut
dan dibuang dari pekarangan-pekarangan dan lapangan-lapangan terbuka.
b.
Pembasmian larva lalat
Kotoran
hewan ternak kalau setiap hari diangkat dari kandang lalu segera disebarkan diatas lapangan terbuka atau
ditimbun dalam tempat-tempat yang tertutup
rapat sehingga tidak masuk lalat akan tidak memungkinkan lalat berkembang biak didalamnya. Keadaan
kering akan mematikan larva dan bahanbahan organik
yang kering tidak disukai lalat sebagai tempat bertelur. Timbunan kotoran hewan bisa disemprot dengan
diazinon dan malathion (sebagai emulsi) atau
insektisida lain (Ronnel, DDVP).
c. Pembasmian
lalat dewasa
Untuk
membasmi lalat dewasa bisa dilakukan penyemprotan udara :
1) dalam
rumah : penyemprotan dengan 0,1% pyrethrum dengan synergizing agents.
2) diluar
rumah : fogging dengan suspensi atau larutan dari 5% DDT, 2% lindane atau
5% malathion. Tetapi lalat bisa menjadi resisten terhadap insektisida. Disamping penyemprotan udara (space
spraying) bisa juga dilakukan.
3) Residual
spraying dengan organo phosphorus insecticides seperti : Diazinon 1%, Dibrom
1%, Dimethoote, malathion 5%, ronnel 1%, DDVP dan bayer L 13/59. Pada residual spraying dicampur gula
untuk menarik lalat.
4) Khusus
untuk perusahaan-perusahaan susu sapi dipakai untuk residual spraying diazinon, ronnel dan malathion
menurut cara-cara yang sudah ditentukan.
Harus diperhatikan supaya tidak terjadi kontaminasi makanan manusia, makanan sapi dan air minum
untuk sapi, dan sapi-sapi tidak boleh disemprot.
5) Tali
yang diresapi dengan insektisida (Inpregnated Cords) :Ini merupakan variasi
dari residual spraying. Tali-tali yang sudah diresapi dengan DDT digantung vertikal dari
langit-langit rumah, cukup tinggi supaya tidak
tersentuh oleh kepala orang. Lalat suka sekali hinggap pada tali-tali ini untuk istirahat, terutama pada malam
hari. Untuk ini dipakai : Parathion
: ini bisa tahan sampai 10 minggu Diazinon
: ini bisa tahan sampai 7 minggu Karena
parathion sangat tosis untuk manusia, hanya orang-orang yang berpengalaman dapat mengerjakannya
dengan sangat hati-hati, dengan memakai
sarung tangan dari kain atau karet. Kalau kulit terkena kontaminasi dengan parathion maka bagian kulit yang
terkena harus segara disetujui dengan
air dan sabun.
d. Umpan
lalat
Lalat
dewasa bisa juga dimatikan dengan umpan dicampur dengan insektisida. Umpan itu diletakkan di tempat-tempat
dimana biasanya banyak lalat berkumpul.
Sebagai umpan dipakai gula, dalam bentuk kering atau basah. Yang bisa dipakai ialah : Diazinon,
malathion, ronnel, DDVP, Dibrom, Bayer L 13/59. Umpan lalat tidak boleh dipakai didalam
rumah.
5.
Pediculus humanus capitis dan Pediculus humanus corporis
Pediculus humanus capitis disebut juga kutu kepala yang merupakan
ektoparasit yang menginfeksi manusia, termasuk dalam family pediculidae yang
penularannya melalui kontak langsung dan dengan perantara barang-barang yang
dipakai bersama-sama. Kutu kepala dan kutu badan merupakan varietas dari satu
spesies .Misalnya: sisir, sikat rambut, topi, syal, handuk, selimut dan
lain-lain (Weems and Fasulo, 2013).
a.
Taxonomi
Phylum : Arthropoda
Kelas : Insekta
Ordo : Phthiraptera
Sub Ordo : Anoplura
Famili : Pediculidae
Genus : Pediculus
Spesies : Pediculus humanus capitis
Kelas : Insekta
Ordo : Phthiraptera
Sub Ordo : Anoplura
Famili : Pediculidae
Genus : Pediculus
Spesies : Pediculus humanus capitis
Phylum : Arthropoda
Kelas : Insekta
Ordo : Phthiraptera
Sub Ordo : Anoplura
Famili : Pediculidae
Genus : Pediculus
Spesies : Pediculus humanus corporis
(Soedarto, 1990, dalam Wijayanti, 2007).
Kelas : Insekta
Ordo : Phthiraptera
Sub Ordo : Anoplura
Famili : Pediculidae
Genus : Pediculus
Spesies : Pediculus humanus corporis
(Soedarto, 1990, dalam Wijayanti, 2007).
b.
Morfologi
a) Kutu Rambut Dewasa
Kutu kepala dewasa mempunyai panjang sekitar 2 sampai 3 mm (ukuran biji wijen), memiliki 6 kaki. Kutu rambut dewasa berbentuk pipih dan memanjang, berwarna putih abu-abu, kepala ovoid bersudut, abdomen terdiri dari 9 ruas, Thorax dari khitir seomennya bersatu. Pada kepala tampak sepasang mata sederhana disebelah lateral, sepasang antena pendek yang terdiri atas 5 ruas dan probosis, alat penusuk yang dapat memanjang. Tiap ruas thorax yang telah bersatu mempunyai sepasang kaki kuat yang terdiri dari 5 ruas dan berakhir sebagai satu sapit menyerupai kait yang berhadapan dengan tonjolan tibia untuk berpegangan erat pada rambut (Wijayanti, 2007).
Kutu rambut jantan berukuran 2mm, alat kelamin berbentuk seperti huruf “V”. Sedangkan kutu rambut betina berukuran 3mm, alat kelamin berbentuk seperti huruf “V” terbalik. Pada ruas abdomen terakhir mempunyai lubang kelamin di tengah bagian dorsal dan 2 tonjolan genital di bagian lateral yang memegang rambut selama melekatkan telur (Wijayanti, 2007). Kutu betina dapat hidup antara 3 sampai 4 minggu dan setelah bisa berbaring hingga 10 telur per hari. Ini telur kecil yang melekat erat pada pangkal rambut poros yang berjarak ± 4mm dari kulit kepala dengan zat seperti lem yang diproduksi oleh kutu (Frakowski et al, 2010). Jumlah telur yang diletakkan selama hidupnya diperkirakan 140 butir (Wijayanti, 2007).
a) Kutu Rambut Dewasa
Kutu kepala dewasa mempunyai panjang sekitar 2 sampai 3 mm (ukuran biji wijen), memiliki 6 kaki. Kutu rambut dewasa berbentuk pipih dan memanjang, berwarna putih abu-abu, kepala ovoid bersudut, abdomen terdiri dari 9 ruas, Thorax dari khitir seomennya bersatu. Pada kepala tampak sepasang mata sederhana disebelah lateral, sepasang antena pendek yang terdiri atas 5 ruas dan probosis, alat penusuk yang dapat memanjang. Tiap ruas thorax yang telah bersatu mempunyai sepasang kaki kuat yang terdiri dari 5 ruas dan berakhir sebagai satu sapit menyerupai kait yang berhadapan dengan tonjolan tibia untuk berpegangan erat pada rambut (Wijayanti, 2007).
Kutu rambut jantan berukuran 2mm, alat kelamin berbentuk seperti huruf “V”. Sedangkan kutu rambut betina berukuran 3mm, alat kelamin berbentuk seperti huruf “V” terbalik. Pada ruas abdomen terakhir mempunyai lubang kelamin di tengah bagian dorsal dan 2 tonjolan genital di bagian lateral yang memegang rambut selama melekatkan telur (Wijayanti, 2007). Kutu betina dapat hidup antara 3 sampai 4 minggu dan setelah bisa berbaring hingga 10 telur per hari. Ini telur kecil yang melekat erat pada pangkal rambut poros yang berjarak ± 4mm dari kulit kepala dengan zat seperti lem yang diproduksi oleh kutu (Frakowski et al, 2010). Jumlah telur yang diletakkan selama hidupnya diperkirakan 140 butir (Wijayanti, 2007).
Gambar 1.1. Kutu kepala
dewasa
(Sumber: Anonim, 2004)
Keterangan Gambar
A. Antena
B. Kuku tarsus
C. Mata
D. Forns
E. Tibia
F. Torax
G. Spirakle
H. Segmen Abdomen
I. Lempeng pleural dengan spirakle abdomen
(Sumber: Anonim, 2004)
Keterangan Gambar
A. Antena
B. Kuku tarsus
C. Mata
D. Forns
E. Tibia
F. Torax
G. Spirakle
H. Segmen Abdomen
I. Lempeng pleural dengan spirakle abdomen
Gambar 1.2. Kutu kepala jantan dan
betina
(Sumber: Anonim, 2004)
(Sumber: Anonim, 2004)
b)Nimfa
Nimfa berbentuk seperti kutu rambut dewasa, hanya bentuknya lebih kecil.
Nimfa berbentuk seperti kutu rambut dewasa, hanya bentuknya lebih kecil.
c)
Telur
Telur berwarna putih mempunyai operculum
0,6-0,8 mm disebut nits. Bentuknya lonjong dan memiliki perekat, sehingga dapat
melekat erat pada rambut. Warna telur terlihat samar dan mirip dengan warna
rambut dan mudah dilihat pada bagian posterior. Telur yang kosong ( nits )
lebih mudah dilihat karena tampak putih diantara rambut yang gelap. Beberapa
ahli menyebut nits lebih menunjuk pada telur yang kosong. Telur diinkubasi oleh
panas tubuh dan biasanya menetas dalam 8 sampai 9 hari , tapi bisa menetas
antara 7 sampai 12 hari tergantung pada udara sekitar panas atau dingin. Daerah
favorit tempat melekatnya telur adalah di dekat telinga dan bagian belakang
kepala (Sutanto dkk, 2008). Telur kutu tubuh selain diletakkan pada serat
pakaian dan kadang-kadang pada rambut tubuh manusia .
Gambar 2.9. Telur kutu kepala
(Sumber: Weems dan Fasulo, 2013)
(Sumber: Weems dan Fasulo, 2013)
c.Epidemiologi
Kutu rambut merupakan parasit manusia saja dan tersebar di seluruh dunia. Biasanya menyerang anak usia pra sekolah dan anak usia sekolah. Akibatnya, kutu kepala yang paling umum menginfestasi kalangan anak-anak. Apabila seseorang penuh dengan kutu, ada kemungkinan bahwa seluruh keluarga akan tertular. Di Amerika serikat, orang yang menyikat rambut secara rutin memiliki kutu yang jumlahnya tidak lebih dari 12, akan tetapi pada individu yang budaya perawatan yang berbeda sering meiliki seratus atau lebih kutu hidup. Infestasi kutu manusia, yang disebut pediculosis, dapat menyebar cepat dan dapat mencapai proporsi epidemi jika dibiarkan. Pada sekelompok orang, faktor-faktor seperti usia, ras (Misalnya: Afrika-Amerika yang rarelyinfested dengan kutu kepala, jenis kelamin, berkerumun di rumah, ukuran keluarga, dan metode pakaian closeting mempengaruhi kursus dan distribusi penyakit (Weems dan Fasulo, 2013).
Kutu rambut merupakan parasit manusia saja dan tersebar di seluruh dunia. Biasanya menyerang anak usia pra sekolah dan anak usia sekolah. Akibatnya, kutu kepala yang paling umum menginfestasi kalangan anak-anak. Apabila seseorang penuh dengan kutu, ada kemungkinan bahwa seluruh keluarga akan tertular. Di Amerika serikat, orang yang menyikat rambut secara rutin memiliki kutu yang jumlahnya tidak lebih dari 12, akan tetapi pada individu yang budaya perawatan yang berbeda sering meiliki seratus atau lebih kutu hidup. Infestasi kutu manusia, yang disebut pediculosis, dapat menyebar cepat dan dapat mencapai proporsi epidemi jika dibiarkan. Pada sekelompok orang, faktor-faktor seperti usia, ras (Misalnya: Afrika-Amerika yang rarelyinfested dengan kutu kepala, jenis kelamin, berkerumun di rumah, ukuran keluarga, dan metode pakaian closeting mempengaruhi kursus dan distribusi penyakit (Weems dan Fasulo, 2013).
d. Siklus Hidup
Gambar 2.10.
Siklus Hidup Kutu Kepala
(Sumber: Departement of Health, victoria, Australia, 2011)
Lingkaran hidup kutu rambut merupakan metamorfosis tidak lengkap, yaitu telur-nimfa-dewasa. Telur akan menetas menjadi nimfa dalam waktu 5-10 hari sesudah dikeluarkan oleh induk kutu rambut. Sesudah mengalami 3 kali pergantian kulit, nimfa akan berubah menjadi kutu rambut dewasa dalam waktu 7-14 hari (Wijayanti, 2007). Dalam keadaan cukup makanan kutu rambut dewasa dapat hidup 27 hari lamanya (Sutanto dkk, 2008).
(Sumber: Departement of Health, victoria, Australia, 2011)
Lingkaran hidup kutu rambut merupakan metamorfosis tidak lengkap, yaitu telur-nimfa-dewasa. Telur akan menetas menjadi nimfa dalam waktu 5-10 hari sesudah dikeluarkan oleh induk kutu rambut. Sesudah mengalami 3 kali pergantian kulit, nimfa akan berubah menjadi kutu rambut dewasa dalam waktu 7-14 hari (Wijayanti, 2007). Dalam keadaan cukup makanan kutu rambut dewasa dapat hidup 27 hari lamanya (Sutanto dkk, 2008).
e.
Bionomik
1. Perilaku
Kutu tidak
bisa melompat atau terbang, tetapi dapat merangkak. Terdapat laporan bahwa
menyisir rambut kering dapat lebih mengeluarkan kutu dewasa dari kulit kepala.
Kutu rambut kepala dapat bergerak dengan cepat dan mudah berpindah dari satu
hospes ke hospes lain. Penelitian mengungkapkan bahwa kutu dapat berpindah antar
sarung bantal pada malam hari , tetapi insiden rendah ( 4 % ) (Weems dan
Fasulo, 2013). Kutu rambut ini dapat bertahan 10 hari pada suhu 5oC
tanpa makan, dapat menghisap darah untuk waktu yang lama, mati pada suhu 40OC.
Panas yang lembab pada suhu 60oC memusnahkan telur dalam waktu 15-30
menit. Kutu rambut kepala mudah ditularkan melalui kontak langsung atau dengan
perantara barang-barang yang dipakai bersama-sama. Misalnya sisir, sikat
rambut, topi dan lain-lain (Wijayanti, 2007).
2.
Tempat perindukan
Tempat-tempat
yang disukainya adalah rambut pada bagian belakang kepala. Telur dari
kutu ini lebih mudah ditemukan terutama pada tengkuk dan bagian belakang
kepala. Pada infeksi berat, helaian rambut akan melekat satu dengan yang
lainnya dan mengeras, dapat ditemukan banyak kutu rambut dewasa, telur (nits)
dan eksudat nanah yang berasal dari gigitan yang meradang. Infeksi mudah
terjadi dengan kontak langsung. Pencegahan dilakukan dengan menjaga kebersihan kepala
(Wijayanti, 2007).
3.
Kebiasaan makan
Kutu dewasa
dan nympha mendapatkan makanannya dengan menghisap darah manusia. Kutu makan
dengan cara menggigit melalui kulit dan menyuntikkan air liur untuk
mencegah darah dari pembekuan, kemudian mengisap darah ke saluran pencernaan.
Penghisapan darah dapat terjadi dalam jangka waktu lama jika kutu tersebut
tidak terganggu. Sementara itu, ketika makan kutu dapat mengeluarkan kotoran
berwarna merah gelap pada kulit (Weems dan Fasulo, 2013). Lesi pada kulit
kepala disebabkan oleh tusukan kutu rambut pada waktu menghisap darah. Lesi
sering ditemukan di belakang kepala atau kuduk. Air liur yang merangsang
menimbulkan papula merah dan rasa gatal yang hebat. Diagnosis ditegakkan jika
terdapat rasa gatal-gatal yang hebat dengan bekas-bekas garukan dan dipastikan
jika ditemukan Pediculus humanus capitis dewasa, nimfa dan telurnya
(Wijayanti, 2007).
f. Pencegahan
1) Hindari head-to -head (hair -to – hair) kontak selama bermain dan kegiatan lain di rumah, sekolah, dan di tempat lain (olahraga, taman bermain, pesta tidur, berkemah).
2) Tidak berbagi pakaian seperti topi, syal, mantel, seragam olahraga, pita rambut, atau jepit rambut.
3) Tidak berbagi sisir, sikat, atau handuk. Sisir dan sikat disinfeksi digunakan oleh orang yang penuh dengan merendam dalam air panas (setidaknya 40°C) selama 5-10 menit.
4) Jangan berbaring di tempat tidur, sofa, bantal, karpet, atau boneka binatang yang baru-baru ini telah melakukan kontak dengan orang yang tejangkit kutu.
5) Meningkatkan hygiene personal seperti sering mengganti dan membersihkan pakaian, topi, dan sarung bantal.
6) Meningkatkan kesadaran tentang pentingnya perawatan badan dan rambut perlu ditanamkan baik kepada orang tua maupun para anak-anak (siswa) sendiri.
7) Ketika salah sartu anggota keluarga diketahui terkena kutu kepala maka dianjurkan untuk memeriksa keberadaan kutu pada anggota keluarga yang lain.
8) Pengobatan juga harus dilakukan jika seseorang sudah terjangkit yang ditandai dengan rasa gatal-gatal di kepala.( Weems dan Fasulo ,2013)
g. Pengobatan
1) Shampo Lindane 1%. Gamma benzene heksa klorid atau piretrin. Dosis, shampo rambut biarkan 4-10 menit, kemudian dibilas piretrin. Pakai sampai rambut menjadi basah, biarkan 10 menit kemudian dibilas. (Tindak lanjut periksa rambut 1 minggu setelah pengobatan untuk telur dan kutu rambut).
2) Salep Lindane (BHC 10%) ; atau bedak DDT 10% atau BHC 1% dalam pyrophylite; atau Benzaos benzylicus emulsion. Dosis, kepala dapat digosok dengan salep Lindane (BHC 1%) atau dibedaki dengan DDT 10% atau BHC 1% dalam pyrophlite atau baik dengan penggunaan 3–5 gram dari campuran tersebut untuk sekali pemakaian. Bedak itu dibiarkan selama seminggu pada rambut, lalu rambut dicuci dan disisir untuk melepaskan telur. Emulsi dari benzyl benzoate ternyata juga berhasil.
3) Cair / Peditox / Hexachlorocyclohexane 0,5%. Dosis, digosokkan pada rambut dan kepala sampai merata biarkan semalam kemudian dicuci lalu dikeringkan (Wijayanti, 2007).
h. Peranan kutu terhadap kesehatan
Penyakit-penyakit yang ditularkan oleh tuma adalah sebagai berikut:
1. Epidemic Typhus
Penyakit yang disebut juga degan istilah typhus fever ini, disebabkan oleh Rickettsia prowazeki. Infeksi pada manusia terjadi karena adanya kontaminasi luka gigitan tuma atau kulit yang lecet dengan tinja tuma atau koyakan badan tuma yang infektif. Angka kematian akibat penyakit ini umumnya rendah pada anak-anak berusia dibawah 15 tahun, tetapi dapat mencapai 100% pada orang-orang berusia lanjut. Dalam penularan penyakit ini, manusia merupakan sumber penularan (asymptomatic carrier).
2. Epidemic Relapsing Fever
Penyakit yang disebabkan oleh Borrelia recurrentis ini dapat menimbulkan kematian antara 2 sampai 50%. Infeksi terjadi oleh karena terjadinya kontaminasi luka gigitan atau luka lecet dengan badan dari tuma yang terkoyak. Sekali Pedicululus humanus corporis mendapatkan infeksi dengan Borellia, ia akan tetap infektif seumur hidupnya.
Penyakit-penyakit yang ditularkan oleh tuma adalah sebagai berikut:
1. Epidemic Typhus
Penyakit yang disebut juga degan istilah typhus fever ini, disebabkan oleh Rickettsia prowazeki. Infeksi pada manusia terjadi karena adanya kontaminasi luka gigitan tuma atau kulit yang lecet dengan tinja tuma atau koyakan badan tuma yang infektif. Angka kematian akibat penyakit ini umumnya rendah pada anak-anak berusia dibawah 15 tahun, tetapi dapat mencapai 100% pada orang-orang berusia lanjut. Dalam penularan penyakit ini, manusia merupakan sumber penularan (asymptomatic carrier).
2. Epidemic Relapsing Fever
Penyakit yang disebabkan oleh Borrelia recurrentis ini dapat menimbulkan kematian antara 2 sampai 50%. Infeksi terjadi oleh karena terjadinya kontaminasi luka gigitan atau luka lecet dengan badan dari tuma yang terkoyak. Sekali Pedicululus humanus corporis mendapatkan infeksi dengan Borellia, ia akan tetap infektif seumur hidupnya.
3. Trench Fever
Penyebab penyakit ini adalah Rickettsia quintana. Tuma akan tetap infektif seumur hidupnya setelah terinfeksi dengan Rickettsia quintana ini. Infeksi pada manusia dapat terjadi oleh kerena gigitan tuma yang infektif atau oleh karena kontaminasi kulit penderita tuma yang lecet dengan tinja tuma yang infektif (Hadi, 2001).
Penyebab penyakit ini adalah Rickettsia quintana. Tuma akan tetap infektif seumur hidupnya setelah terinfeksi dengan Rickettsia quintana ini. Infeksi pada manusia dapat terjadi oleh kerena gigitan tuma yang infektif atau oleh karena kontaminasi kulit penderita tuma yang lecet dengan tinja tuma yang infektif (Hadi, 2001).
6.
Phthirus pubis
Phthirus pubis adalah serangga dari ordo
Phthiraptera dan merupakan ektoparasit yang hostnya adalah manusia (CDC, 2013).
Kutu kemaluan menginfeksi daerah rambut kemaluan dan bertelur. Kutu ini juga
dapat ditemukan di ketiak rambut dan alis (Berman, 2014).
a.
Taxonomi
Phylum : Arthropoda
Kelas : Insekta
Ordo : Phthiraptera
Sub Ordo : Anoplura
Famili : Pthiridae
Genus : Phthirus
Species : Phthirus pubis
(Robinson, 2005)
b. Morfologi
1.Telur
Telur Phthirus pubis berwarna putih kekuningan, memiliki panjang sekitar 1 mm dan melekat kuat pada rambut atau pakaian. Beberapa telur dapat melekat pada sehelai rambut. Betina meletakkan sekitar tiga telur per hari, dan kesuburan pada 26-30 telur. Penetasan terjadi dalam 6-8 hari, dan pertumbuhan membutuhkan waktu 13-17 hari pada suhu kulit normal (Robinson, 2005).
Telur Phthirus pubis berwarna putih kekuningan, memiliki panjang sekitar 1 mm dan melekat kuat pada rambut atau pakaian. Beberapa telur dapat melekat pada sehelai rambut. Betina meletakkan sekitar tiga telur per hari, dan kesuburan pada 26-30 telur. Penetasan terjadi dalam 6-8 hari, dan pertumbuhan membutuhkan waktu 13-17 hari pada suhu kulit normal (Robinson, 2005).
2.Nimfa
Nimfa menyerupai dewasa, tetapi lebih kecil. Tahap ketiga pada nimfa jantan memiliki panjang 1,3-1,4 mm dan biasanya dengan dua tuberkel lateral. Tahap ketiga nimfa betina memiliki panjang 1,0-1,5 mm panjang dan biasanya dengan empat tuberkel lateral (Robinson, 2005).
Nimfa menyerupai dewasa, tetapi lebih kecil. Tahap ketiga pada nimfa jantan memiliki panjang 1,3-1,4 mm dan biasanya dengan dua tuberkel lateral. Tahap ketiga nimfa betina memiliki panjang 1,0-1,5 mm panjang dan biasanya dengan empat tuberkel lateral (Robinson, 2005).
3.Dewasa
Phthirus pubis berbentuk pipih dorsoventral, bilateral simetris, tidak bersayap. Bentuk mulut tipe menusuk dan menghisap. Mempunyai spirakel di bagian dorso ventral. Ada yang berpleural plate ada yang tidak. Metamorfosis tidak lengkap, terjadi perubahan dari telur, nimfa, akhirnya menjadi dewasa. Kepala Phthirus pubis terdapat clupeus, frons, letaknya antara antena dan mata, sepasang mata faset (jelas terlihat), sepasang antena yang bersegmen empat buah dan haustellum, terdapat labrum, epifaring, dan prestomal teeth.
Thorax pada Phthirus 1 pasang scpirakel dan 3 pasang kaki kuat dengan claw (cengkram). Segmen thorax tidak terlihat jelas pada Phthirus, terdiri atas prothorax, mesothorax dan metathorax. Kaki terdiri atas: coxa, trochanter, femur, tibia tumb, tarsus, tarsal claw (kuku).
Abdomen Phthirus pada tiap segmen terdapat pleural plate, di bagian dorso lateral terdapat abdominal spirakel dan tranverse band. Segmen abdominal ada 9 buah. Pada hewan jantan segmen terakhir ada adeagus dan bentuknya asimetris, sedangkan pada betina terdapat gonopodia, simetris. Segmen ke 3-5 bersatu dan pada segmen tersebut terdapat 3 pasang spirakel yang bersatu dalam satu segmen. Pada segmen ke 6-8 hanya terdapat 1 pasang spirakel saja pada tiap segmen. Pada segmen ke 1 dan 2 menghilang. Segmen ke 9 yaitu alat kelamin (Natadisastra, 2009).
c.Epidemiologi
Di seluruh dunia, termasuk semua negara-negara maju. Meskipun Phthirus pubis terjadi di Eropa, Asia, Afrika, Amerika Utara dan Australia, dan ditemukan pada negro serta kulit putih. Phthirus pubis kurang sering terjadi pada pria daripada Pediculus dan tampaknya parasit terutama pada orang-orang yang memimpin kehidupan seksual yang aktif. Sejauh ini, telah dua kali direkam pada host selain manusia, yaitu anjing (Nuttall, 2009).
Di seluruh dunia, termasuk semua negara-negara maju. Meskipun Phthirus pubis terjadi di Eropa, Asia, Afrika, Amerika Utara dan Australia, dan ditemukan pada negro serta kulit putih. Phthirus pubis kurang sering terjadi pada pria daripada Pediculus dan tampaknya parasit terutama pada orang-orang yang memimpin kehidupan seksual yang aktif. Sejauh ini, telah dua kali direkam pada host selain manusia, yaitu anjing (Nuttall, 2009).
d. Siklus Hidup

Gambar 2.15. Siklus hidup Phthirus
pubis
(Sumber: http://www.cdc.gov/dpdx/phthiriasis/)
(Sumber: http://www.cdc.gov/dpdx/phthiriasis/)
Kutu
kemaluan (Phthirus pubis) memiliki tiga tahap: telur, nimfa dan dewasa. Telur
(nits) diletakkan pada batang rambut (1). Betina akan meletakkan sekitar 30
telur selama masa hidup 3-4 minggu. Telur menetas setelah sekitar satu minggu
dan menjadi nimfa, yang terlihat seperti versi yang lebih kecil dari orang
dewasa. Nimfa menjalani tiga tahap (2,3,4) sebelum menjadi dewasa (5). Dewasa
memiliki panjang 1,5-2,0 mm dan pipih. Mereka jauh lebih luas dibandingkan
dengan kepala dan tubuh kutu. Orang dewasa hanya ditemukan pada host manusia
dan membutuhkan darah manusia untuk bertahan hidup. Jika orang dewasa terpaksa
off tuan rumah, mereka akan mati dalam waktu 24-48 jam tanpa makan darah. Kutu
kemaluan ditularkan dari orang ke orang yang paling sering-melalui kontak
seksual, meskipun fomites (tempat tidur, pakaian) mungkin memainkan peran kecil
dalam transmisi mereka (CDC, 2013).
f. Bionomik
1. Perilaku
1. Perilaku
Phthirus pubis biasanya berada pada daerah kemaluan dan perianal, sering menyebar ke atas perut dan payudara, dan dapat menduduki aksila, atau mungkin menyebar ke bawah di sepanjang paha. Kepala jarang dipenuhi oleh Pthirus pubis karena kurang cocok sebagai habitat karena kulit kepala-rambut yang ramai dekat bersama-sama dan lebih halus dari pada pubis dan pada aksila. Jangkauan antara dua kaki belakang-pasang serangga dewasa adalah sekitar 2 mm. Kaki ini digunakan untuk menangkap rambut. Rambut tersebut, dan tidak diragukan lagi tahap kadang aktif kutu adalah gudang pakaian, tempat tidur, kursi dari jamban, dll, dan mudah menjadi terjerat dengan rambut kemaluan atau dari orang-orang bersih yang mungkin datang dalam kontak dengan itu. Sebuah kutu terpisah segera menempel setiap rambut dengan yang terjadi kontak. Oleh karena itu, sementara Phthirus umumnya disampaikan secara langsung, hal itu juga dapat diperoleh secara tidak langsung. Ini adalah makhluk tak berdaya ketika dihapus dari rambut yang menempel terus menerus pada tubuh, dimana ia bergerak sekitar dengan berpindah dari rambut ke rambut karena itu jauh lebih mungkin untuk disampaikan secara pasif dari host ke host.
Larva unfed muda biasanya mati dalam waktu sepuluh jam dari munculnya. Ketika dihapus dari manusia, mereka bertahan lebih lama di 16-20° C dibandingkan pada 30° C dan mati lebih cepat di tempat yang kering daripada dalam suasana lembab, tidak ada banyak kutu semua tahapan yang diuji ditemukan bertahan hingga 42 ½ jam, bila dipertahankan di bawah kondisi yang berbeda. Hidup di manusia laki-laki selamat 22 hari, 17 hari perempuan (Nuttal, 2009).
2. Tempat perindukan
Menurut Brown (2006) telur (nits) Phthirus pubis cukup besar bila dilihat tanpa menggunakan mikroskop. Mereka hidup dan berkembang biak dimana ada rambut kasar, seperti bagian tubuh berikut:
1) Alat kelamin
2) Ketiak
3) Dada
4) Jenggot
5) Bulu mata
6) Alis
3. Kebiasaan makan
Phthirus pubis memakan darah. Infestasi biasanya rambut pada daerah kemaluan dan perineum, tetapi mungkin pindah ke ketiak, janggut, kumis atau alis. Ini jarang terjadi pada kelopak mata dan dalam beberapa kasus telah ditemukan di semua tahapan pada kulit kepala individu yang luar biasa berbulu. Phthirus pubis relatif tidak bergerak ketika pada host, yang tersisa melekat dan makan selama berjam-jam atau berhari-hari pada satu tempat tanpa menghapus bagian mulutnya dari kulit (Weems, 2013).
Menurut Brown (2006) telur (nits) Phthirus pubis cukup besar bila dilihat tanpa menggunakan mikroskop. Mereka hidup dan berkembang biak dimana ada rambut kasar, seperti bagian tubuh berikut:
1) Alat kelamin
2) Ketiak
3) Dada
4) Jenggot
5) Bulu mata
6) Alis
3. Kebiasaan makan
Phthirus pubis memakan darah. Infestasi biasanya rambut pada daerah kemaluan dan perineum, tetapi mungkin pindah ke ketiak, janggut, kumis atau alis. Ini jarang terjadi pada kelopak mata dan dalam beberapa kasus telah ditemukan di semua tahapan pada kulit kepala individu yang luar biasa berbulu. Phthirus pubis relatif tidak bergerak ketika pada host, yang tersisa melekat dan makan selama berjam-jam atau berhari-hari pada satu tempat tanpa menghapus bagian mulutnya dari kulit (Weems, 2013).
f. Pencegahan
1) Cuci semua pakaian dan selimut dalam air panas.
2) Barang yang tidak dapat dicuci dapat disemprot dengan semprotan obat yang dapat dibeli di toko. Dapat juga menyegel barang dalam kantong plastik untuk 10-14 hari untuk meredakan kutu.
3) Membuat yakin dengan siapa anda memiliki kontak seksual atau berbagi tempat tidur dan diobati pada saat yang sama.
4) Orang dengan kutu kemaluan harus diperiksa untuk infeksi menular seksual lain ketika kutu ditemukan.
1) Cuci semua pakaian dan selimut dalam air panas.
2) Barang yang tidak dapat dicuci dapat disemprot dengan semprotan obat yang dapat dibeli di toko. Dapat juga menyegel barang dalam kantong plastik untuk 10-14 hari untuk meredakan kutu.
3) Membuat yakin dengan siapa anda memiliki kontak seksual atau berbagi tempat tidur dan diobati pada saat yang sama.
4) Orang dengan kutu kemaluan harus diperiksa untuk infeksi menular seksual lain ketika kutu ditemukan.
g. Pengobatan
Pengobatan kutu kemaluan yang terbaik diobati dengan menggunakan bahan yang mengandung permethrin, seperti Elimite atau Kwell:
1) Usapkan sampo ke rambut kemaluan yang kering dan sekitarnya selama 5 menit.
2) Bilas dengan baik.
3) Sisir rambut kemaluan dengan sisir bergigi halus untuk menghilangkan telur (nits). Menerapkan cuka untuk rambut kemaluan sebelum menyisir dapat membantu melonggarkan nits.
4) Kebanyakan orang hanya perlu 1 pengobatan. Jika pengobatan kedua diperlukan, hal itu harus dilakukan 4 hari sampai 1 minggu kemudian.
5) Menggunakan obat-obatan untuk mengobati kutu meliputi sembuh dan Nix. Lotion malathione adalah pilihan lain (Berman, 2014)
Pengobatan kutu kemaluan yang terbaik diobati dengan menggunakan bahan yang mengandung permethrin, seperti Elimite atau Kwell:
1) Usapkan sampo ke rambut kemaluan yang kering dan sekitarnya selama 5 menit.
2) Bilas dengan baik.
3) Sisir rambut kemaluan dengan sisir bergigi halus untuk menghilangkan telur (nits). Menerapkan cuka untuk rambut kemaluan sebelum menyisir dapat membantu melonggarkan nits.
4) Kebanyakan orang hanya perlu 1 pengobatan. Jika pengobatan kedua diperlukan, hal itu harus dilakukan 4 hari sampai 1 minggu kemudian.
5) Menggunakan obat-obatan untuk mengobati kutu meliputi sembuh dan Nix. Lotion malathione adalah pilihan lain (Berman, 2014)
h. Peranan kutu terhadap kesehatan
Penyakit-penyakit yang ditularkan oleh tuma adalah sebagai berikut:
1. Epidemic Typhus
Penyakit yang disebut juga degan istilah typhus fever ini, disebabkan oleh Rickettsia prowazeki. Infeksi pada manusia terjadi karena adanya kontaminasi luka gigitan tuma atau kulit yang lecet dengan tinja tuma atau koyakan badan tuma yang infektif. Angka kematian akibat penyakit ini umumnya rendah pada anak-anak berusia dibawah 15 tahun, tetapi dapat mencapai 100% pada orang-orang berusia lanjut. Dalam penularan penyakit ini, manusia merupakan sumber penularan (asymptomatic carrier).
2. Epidemic Relapsing Fever
Penyakit yang disebabkan oleh Borrelia recurrentis ini dapat menimbulkan kematian antara 2 sampai 50%. Infeksi terjadi oleh karena terjadinya kontaminasi luka gigitan atau luka lecet dengan badan dari tuma yang terkoyak. Sekali Pedicululus humanus corporis mendapatkan infeksi dengan Borellia, ia akan tetap infektif seumur hidupnya.
Penyakit-penyakit yang ditularkan oleh tuma adalah sebagai berikut:
1. Epidemic Typhus
Penyakit yang disebut juga degan istilah typhus fever ini, disebabkan oleh Rickettsia prowazeki. Infeksi pada manusia terjadi karena adanya kontaminasi luka gigitan tuma atau kulit yang lecet dengan tinja tuma atau koyakan badan tuma yang infektif. Angka kematian akibat penyakit ini umumnya rendah pada anak-anak berusia dibawah 15 tahun, tetapi dapat mencapai 100% pada orang-orang berusia lanjut. Dalam penularan penyakit ini, manusia merupakan sumber penularan (asymptomatic carrier).
2. Epidemic Relapsing Fever
Penyakit yang disebabkan oleh Borrelia recurrentis ini dapat menimbulkan kematian antara 2 sampai 50%. Infeksi terjadi oleh karena terjadinya kontaminasi luka gigitan atau luka lecet dengan badan dari tuma yang terkoyak. Sekali Pedicululus humanus corporis mendapatkan infeksi dengan Borellia, ia akan tetap infektif seumur hidupnya.
3. Trench Fever
Penyebab penyakit ini adalah Rickettsia quintana. Tuma akan tetap infektif seumur hidupnya setelah terinfeksi dengan Rickettsia quintana ini. Infeksi pada manusia dapat terjadi oleh kerena gigitan tuma yang infektif atau oleh karena kontaminasi kulit penderita tuma yang lecet dengan tinja tuma yang infektif (Hadi, 2001).
Penyebab penyakit ini adalah Rickettsia quintana. Tuma akan tetap infektif seumur hidupnya setelah terinfeksi dengan Rickettsia quintana ini. Infeksi pada manusia dapat terjadi oleh kerena gigitan tuma yang infektif atau oleh karena kontaminasi kulit penderita tuma yang lecet dengan tinja tuma yang infektif (Hadi, 2001).
7.
Caplak atau Sengkenit
a.
Epidemiologi
Menurut (Natadisastra dan Agoes,
2005), paralisis sengkenit dilaporkan hampir merata dari seluruh dunia. Jarang
mengenai manusia dan terbatas pada yang beresiko tinggi seperti peternak dan
penggembala serta penyabit rumput dan perambah hutan temat sengkenit lazim
hidup pada hewan dan di rerumputan serta semak. Perihal etiologinya masih belum
ada kesepahaman, tetapi beberapa sengkenit yang pernah dilaporkan menimbulkan
gangguan antara lain adalah dua spesies dari genus Dermacentor yaitu D.
andersoni dan D. variabilis. Dari genus Amblyomma yaitu A.
maculatum dan dari genus Ixodes yaitu I. holocyclus.
Secara umum, sengkenit atau caplak tersebar di daerah peternakan
atau daerah yang penduduknya banyak memelihara hewan ternak.
b.
Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum :
Arthropoda
Upafilum : Chelicerata
Kelas :
Arachnida
Upakelas : Acarina
Superordo :
Parasitiformes
Ordo : Ixodida
Superfamili : Ixodoidea
c.
MORFOLOGI
SENGKENIT:

Nimfa
menyerupai dewasa, namun alat kelaminnya belum sempurna. Mempunyai gnathosoma
(kapitulum), thorax, dan abdomen tidak terlihat batas jelas.
Kapitulum. Bagian anterior daerah kapitulum atau gnathosoma, terdapat hypostome dengan gigi-gigi (duri), sepasang pedipalpa yang terdiri dari 4 segmen, mandibulla/apophyse chelicera, tabung chelicera, dan basis capituli. Bagian Thorax-Abdomen. Dilihat dari bagian dorsal, tampak sectum pada hard tick (betina), sepasang mata dan festoon pada hard ticks di abdomen (Natadisastra dan Agoes, 2005).
Kapitulum. Bagian anterior daerah kapitulum atau gnathosoma, terdapat hypostome dengan gigi-gigi (duri), sepasang pedipalpa yang terdiri dari 4 segmen, mandibulla/apophyse chelicera, tabung chelicera, dan basis capituli. Bagian Thorax-Abdomen. Dilihat dari bagian dorsal, tampak sectum pada hard tick (betina), sepasang mata dan festoon pada hard ticks di abdomen (Natadisastra dan Agoes, 2005).
Telurnya sejumlah 3.000-5.000 butir yang di keluarkan sedikit
demi sedikit setiap harinya. Dalam keadaan kelembaban tinggi dan suhu yang
memadai telur akan menetas dalam waktu sekitar 14 hari. Larva yang berkaki 3
pasang segera naik ke daun-daun rumput untuk menunggu kesempatan menempel pada
induk semang. Bila tidak cepat mendapat induk semang yang baru larva dapat
menahan lapar untuk berminggu-minggu bahkan sampai berbulan-bulan. Setelah
berhasil mendapatkan induk semang dan menghiap darahnya, larva akan melepaskan
diri dari induk semang untuk berganti kulit menjadi nimfa. Proses ini di ulangi
lagi oleh nimfa untuk menjadi dewasa (Hendrix dan Robinson, 2006).
d.
SIKLUS HIDUP

Secara umum siklus hidup caplak, baik caplak keras maupun caplak
lunak meliputi empat fase perkembangan yaitu: telur, larva berkaki enam, nimfa
berkaki delapan, dan kemudian dewasa. Siklus hidup diawali dari caplak betina
yang meletakkan telur dalam jumlah banyak. Seekor caplak betina mampu bertelur
100 butir sehari. Telur-telur itu akan menetas menjadi larva berkaki enam dalam
jumlah yang lebih sedikit. Larva caplak ini akan menyerap ke atas vegetasi dan
pada saat ada hewan yang melintasinya dia akan menempel pada hewan tersebut.
Akan tetapi bila tidak menemukan inang, maka larva akan mati. Setelah menempel,
larva yang menemukan inang akan menghisap darah inangnya. Selanjutnya larva
akan moltig menjadi nimfa berkaki delapan. Nimfa ini biasanya berukuran kecil
dan akan mencari inang berupa vertebrata kecil (Widiastuti, 2008).
Caplak dapat bertahan hidup selama berbulan-bulan tanpa makan jika
belum mendapatkan induk semangnya. Caplak dapat hidup pada 1-3 induk semang
berbeda selama fase pertumbuhannya sehingga dikenal dengan sebutan caplak
berinduk seman satu, berinduk semang dua, dan berinduk semang tiga (Vredevoe,
1997).
Menurut (Ismanto dan Ikawati, 2009), berdasarkan jumlah hospes yang
diperlukan untuk menyelesaikan siklus hidupnya, siklus hidup caplak dibedakan
menjadi:
1.
Berumah satu (one-host ticks)
Pada
bentuk belum dewasa menghisap darah hospes yang sama, mengalami dua kali
pergantian kulit (ekdisis) pada hospes yang sama.
2.
Berumah dua (two-host ticks)
Larva
menghisap darah dan mengalami ekdisis pada hospes dan terbentuklah nimfa, akan
menghisap darah hospes yang sama, kemudian akan jatuh ke tanah dan mengalami
ekdisis paa lingkungan luar dan berkembang menjadi dewasa. Caplak dewasa akan
mencari hospes yang baru.
3.
Berumah tiga (three-host ticks)
pada
setiap stadium dalam siklus hidupnya akan menghisap darah hoses yang berbeda.
Setiap kali sehabis menghisap darah akan jatuh dan ekdisis terjadi pada
lingkungan luar.
e.
Tanda dan
gejala
Gejala yang ditimbulkan adalah
paralisis akut dan dimulai dari otot tempat gigitan dan menjalar ke otot-otot
lain akibat toksin terbawa aliran darah. Jika kelumpuhan ini mengenai otot
repiratorik, akan terjadi asfiksia yang dapat disusul dengan kematian jika
penanganan tidak dilakukan dengan segera. (Natadisastra dan Agoes, 2005)
f.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan pada kecurigaan
dari riwayat, keluhan, dan gejala klinis. Untuk diagnosis pasti, perlu
ditemukan sengkenit yang masih menancap pada kulit atau bekas lukanya (Natadisastra
dan Agoes, 2005).
g.
Pencegahan dan
pengobatan
Beberapa penyakit yang ditimbulkan
akibat infestasi caplak dan tungau antara lain: scrub thypus, rocky mountain
spotted fever, tularemia, Lyme disease (Krantz, 1978). Sehingga perlu dilakukan
pencegahan dan pengobatan pada penyakit-penyakit diatas.
Cara pencegahannya antara lain
melakukan penyemprotan pestisida (acaricida) pada rerumputan dan semak
serta pada hewan yang dihinggapi. Pada hewan besar juga lazim direndam pada
kubangan air yang mengandung pestisida. Memakai pakaian tertutup (baju lengan
panjang, celana lengan panjang yang dimasukkan ke dalam kaus kaki dan bersepatu
boot) dan memakai repellent dianjurkan. Selain itu, menjaga kesehatan hewan
ternak dan hewan peliharaan sangat diperlukan, serta memotong rumput atau semak
yang merupakan tempat caplak biasa hinggap.
Pengobatannya degan cara mencabut
sengkenit yang menggigit apabila terdapat tanda-tanda paralisis dengan
memastikan kapitulumnya tidak tertinggal karena dapat menimbulkan nekrosis.
Jika kapitulum masih menempel di jaringan epidermis untuk menghisap darah, maka
perlu dilakukan pelepasan toksin. Seluruh tubuh sengkenit harus diangkat secara
in toto termasuk kepalanya untuk mencegah keracunan (Natadisastra dan
Agoes, 2005).
8.
Cyclops
a.
Epidemiologi
Cyclops termasuk ordo
copepoda dari kelas crustacea. Cyclops hidup di air tawar dan di air
asin. Cyclops sternuus yang hidup di air tawar dapat menjadi hospes
perantara cacing Diphyllobothrium latum di Eropa, sedangkan Cyclops
spp.dapat menjadi hospes perantara Gnathostoma spinigerum di
Indonesia, dan Dracunculus medinensis di India (FKUI, 2008).
b.
Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Subphylum : Crustacea
Class :
Maxillopoda
Subclass : Copepoda
Infraclass :
Neocopepoda
Superorder : Podoplea
Order :
Cyclopoida
Family :
Cyclopidae
Genus : Cyclops
c.
Morfologi

Bentuk tubuh dari Cyclops sp adalah seperti buah pir
(pyriformis). Sering disebut juga sebagai kutu air karena bentuknya mirip
dengan kutu yang ditemukan di darat. Tubuh Cyclops sp terbagi menjadi 2
bagian, yaitu bagian depan dan belakang. Pada bagian depan, bagian oval luas
terdiri dari kepala dan dada lima pertama segmen sedangkan pada bagian belakang
yang jauh lebih ramping dan terdiri dari segmen toraks keenam dan empat segmen
pleonic tak berkaki. Cyclops sp memiliki segmen pada tubuhnya yang
berjumlah 17 segmen. Cyclops sp berubah warna karena tergantung dari apa
yang dia makan, warna Cyclops sp bervariasi dari biru, hijau, oranye,
sampai merah. Cyclops sp memiliki mata yang berukuran besar dengan warna
mata merah atau hitam. Ciri dari kepala Cyclops sp adalah mempunyai
titik mata tunggal pada segmen kepalanya. Cyclops sp memiliki 5 pasang
kaki. Jumlah ekor pada Cyclops sp ada 2 sebagai pelengkap proyek dari
belakang. 2 antena Cyclops sp dimana antenna pertama digunakan oleh
jantan untuk mencengkram betina saat kawin.
d.
Siklus hidup
Copepoda jantan pada umumnya lebih kecil dibandingkan copepoda
betina. Selama melakukan reproduksi atau kopulasi, organ jantan berhubungan
dengan betina dengan adanya peranan antenna, dan meletakkan spermatopora pada
bukaan seminal, yang dilekatkan oleh lem semen khusus. Telur-telur umumnya
lebih dekat ke bagian kantung telur. Telur-telur ditetaskan sebagai naulpii dan
setelah melewati 5-6 fase nauplii (molting), larva akan menjadi copepodit.
Setelah copepodit kelima, akan molting lagi menjadi lebih dewasa. Perkembangan
ini membutuhkan waktu tidak kurang dari satu minggu hingga satu tahun, dan
kehidupan copepoda berlangsung selama enam bulan sampai satu tahun (Lavens dan
Sorgeloos, 1996). Dalam satu siklus hidup copepoda memerlukan waktu selama
kurang lebih 6-7 hari (Anindiastuti dkk., 2002).
Apabila kondisi tidak memungkinkan untuk kelangsungan hidup,
copepoda akan memproduksi cangkang atau telur dormant (istirahat) seperti
halnya kista. Hal ini juga menyebabkan tingkat survival berlangsung dengan baik
walaupun kondisi lingkungan tidak mendukung contohnya pada suhu dingin (Lavens
dan Sorgeloos, 1996).
e.
Tanda dan
gejala
Biasanya gejala yang ditimbulkan oleh Cyclops tidak berat,
hanya gejala ringan seperti diare, tidak nafsu makan, dan tidak enak di perut
(FKUI,2008)
f.
Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan menemukan telur atau proglotid
dalam tinja yang dikeluarkan (FKUI, 2008).
g.
Pencegahan dan
pengobatan
Untuk pencegahan meledaknya populasi Cyclops, menurut
(Chandra, 2005), ada tiga metode untuk mengendalikan populasi Cyclops,
yaitu:
1)
Pengendalian
fisik, yaitu melalui penyaringan dan pemasakan air, minimal sampai suhu 60ºC,
2)
Pengendalian
kimia, yaitu dengan menggunakan khlorine 5 ppm, lime (batu kapur), dan Abate
(1mg/liter), dan
3)
Pegendalian
biologis, yaitu melalui pemeliharaan ikan.
9. Dermatophagoides
pteronyssinus
a. Klasifikasi
Superkingdom : Eukaryota
Kingdom : Animalia
Subkingdom : Metazoa
Filum : ArthropodaSubfilum
Subfilum : Chelicerata
Kelas : Arachnida
Ordo : Acariformes
Subordo : Astigmata
Family : Pyroglyphidae
Genus : Dermatophagoides
Spesies : Dermatophagoides
pteronyssinus
Dermatophagoides farinae
b.
Epidemiologi
Populasi
tungau debu di dalam rumah bergantung pada factor-faktor : 1) tinggi rendahnya
rumah dari permukaan laut; 2) daerah dengan musim panas yang lebih panjang dari
musim hujan, 3) adanya berbagai macam binatang didalam rumah, 4)rumah yang
kotor dan banyak debu,5) suhu dan kelembaban optimum bagi perkembangan populasi
TDR adalah 25⁰-30⁰C dan kelembaban
relatif 70-80%
dengan kelembaban kritis 60-65%. Perkembangbiakan TDR terganggu pada suhu
diatas 32⁰C
dan jika tungau dipanaskan selama 6 jam pada suhu 51⁰C dengankelembaban
udara 60% maka tungau akan mati (Soleha
Sungkar, 2008).
c.
Morfologi
Tungau betina berukuran 330-600 µm x 250-400 µm dan jantan berukuran 200-240
µm x 150-200 µm, mempunyai kaki
pendek dan sepasang kaki ketiga dan
keempat tidak tampak dari dorsal tubuhnya. Sarcoptes
dibedakan dengan genus lain berdasar adanya leg
sucker (pulvilus), dimana pada Sarcoptes
jantan dapat dijumpai adanya leg sucker pada kaki ke-1, 2 dan 4, sedang pada yang betina dapat dijumpai
pada kaki ke-1 dan 2 Beberapa peneliti menyatakan bahwa 1 coptes mempunyai spesies atau varian
yang berbeda dan para ahli biologi dan iisiologi menyatakan bahwa spesiesnya
adalah Si scabiei yang mana spesifik
terhadap induk semangnya. Bagaimanapun dimungkinkan penularan mites dari bermacam-macam spesies induk
semang ke yang lain, demikian pula dimungkinkan berkaitan dengan proses evolusi
dari induk semang, namun masih dapat menularkan dari spesies satu ke yang lain
(Soulsby, 1986).
d. Siklus
hidup
![]() |
Gambar 4. Siklus hidup Sarcoptes
scabiei
Sumber : http://www.stanford.edu, 2011
Siklus hidup tungau
berlangsung pada tubuh inang, terdiri atas beberapa tahapan yaitu telur, larva,
deutonimfa dan bentuk dewasa jantan
atau betina (Williams et al., 1985). Tungau jantan bertemu dengan tungau betina
pada permukaan yang normal dari epidermis kulit (Muller and Kirk, 1976).
Menurut Grant (1986) dan Luevine (1990), siklus hidup Sarcoptes dimulai dari
tungau betina dewasa, setelah dibuahi maka sarcoptes akan mulai membuat lubang
atau terowongan di bawah permukaan kulit untuk meletakkan telurnya, sekaligus
juga membuang kotorannya di terowongan tersebut. Panjang terowongan bisa
mencapai 3 cm dan terbatas dalam lapisan epidermis kulit. 4 - 5 hari kemudian
mulai bertelur dan meletakkan 3 - 5 butir telur per hari dalam terowongan
tersebut sampai jumlahnya mencapai 40 - 50 telur. Tungau betina ini dapat
mengeluarkan telur sebanyak 90 butir sepanjang siklus hidupnya. Setelah
meletakkan telur-telurnya, tungau betina akan mati. Umur tungau betina hanya
mencapai tidak lebih dari 3 - 4 minggu. Sedangkan tungau jantan mati setelah
kopulasi (Oktora, 2009).
Telur akan berada di
terowongan antara 3 - 10 hari setelah itu menetas menjadi larva berukuran 215 x
156 µm yang memiliki tiga pasang kaki (Foster and Smith, 2011; Soulsby, 1982).
Larva dapat tinggal dalam terowongan, atau bermigrasi ke luar pada daerah
sekitarnya untuk mencari makanan, kemudian kembali dan menggali kulit lebih
dalam untuk membuat tempat moulting (moulting
pocket) menjadi tahap nimfa (Kelly, 1977). Nimfa memiliki empat pasang kaki
namun organ kelaminnya belum berkembang. Nimfa berukuran 220 x 195 µm (Flynn,
1973; Soulsby, 1982). Setelah 2 - 3 hari larva akan menjadi nimfa yang
mempunyai 2 bentuk, jantan atau betina dengan 4 pasang kaki. Selanjutnya nimfa
akan tumbuh menjadi parasit dewasa dalam kurun waktu 2 minggu. Seluruh siklus
hidupnya mulai dari telur sampai bentuk dewasa memerlukan waktu antara 8 - 12
hari (Oktora, 2009). Siklus ini akan berulang kembali sepanjang tungau tersebut
masih hidup (http://www.obatherbalalami.com/, 2011). Siklus hidup penuh dari
tungau sejak fase telur sampai dengan tungau dewasa penuh adalah 17 - 21 hari
(Urguhart et al, 1987). Tungau mampu bertahan hidup di luar tubuh inang 2-6
hari pada suhu ruangan, dan bisa bertahan hidup hingga 22 hari pada lingkungan
yang sedikit lembab (Foster and Smith, 2011).
e.
Tanda dan gejala penyakit
Lubang berbentuk terowongan tungau
tampak sebagai garis bergelombang dengan panjang sampai 2,5 cm (seperti
terlihat pada gambar 1), kadang pada ujungnya terdapat gumpalan kecil. Lubang
tersebut paling sering ditemukan dan dirasakan gatalnya di sela-sela kuku kaki,
pergelangan tangan, siku, ketiak, di sekitar ambing, dan bagian bawah anus.
Kulit bagian terluar terlihat menebal, berkerut, dan terdapat keropeng
diatasnya. Infeksi diikuti dengan pembentukan papula atau vesikula, disertai
dengan perembesan cairan limfe (Subronto,
2008).
f.
Diagnosis
1)
Anamnesis
Menurut Rahariyani (2007), beberapa hal yang perlu
ditanyakan dalam anamnesis
antara lain:
a)
Biodata.
Perlu dikaji secara
lengkap untuk umur,
penyakit skabies bias menyerang semua kelompok umur, baik anak-anak maupun dewasa
bias terkena penyakit ini, tempat, paling sering di lingkungan yang kebersihannya kurang dan padat
penduduknya seperti asrama dan penjara.
b) Keluhan utama.
Biasanya penderita datang dengan keluhan gatal dan ada lesi
pada kulit.
c) Riwayat penyakit sekarang.
Biasanya penderita mengeluh gatal terutama malam hari dan
timbul lesi berbentuk pustul pada sela-sela
jari tangan, telapak tangan, ketiak, areola mammae, bokong, atau perut bagian bawah. Untuk
menghilangkan gatal, biasanya penderita menggaruk
lesi tersebut sehingga ditemukan adanya lesi tambahan akibat garukan.
d) Riwayat penyakit terdahulu.
Tidak ada penyakit lain yang dapat menimbulkan skabies
kecuali kontak langsung atau tidak langsung
dengan penderita.
e) Riwayat penyakit keluarga
Pada penyakit skabies, biasanya ditemukan anggota keluarga
lain, tetangga atau juga teman yang
menderita, atau mempunyai keluhan dan gejala yang sama.
f) Psikososial.
Penderita skabies biasanya merasa malu, jijik, dan cemas
dengan adanya lesi yang berbentuk pustul. Mereka biasanya menyembunyikan
daerah-daerah yang terkena lesi pada saat interaksi sosial.
g) Pola kehidupan sehari-hari.
Penyakit
skabies terjadi karena hygiene
pribadi yang buruk atau kurang (kebiasaan mandi, cuci tangan, dan ganti baju
yang tidak baik). Pada saat anamnesis, perlu ditanya secara jelas tentang pola
kebersihan diri penderita maupun keluarga. Dengan adanya rasa gatal di malam
hari, tidur penderita sering kali terganggu. Lesi dan bau yang tidak sedap,
yang tercium dari sela-sela jari atau telapak tangan akan menimbulkan gangguan
aktivitas dan interaksi sosial.
2) Pemeriksaan fisik
Menurut
Harahap (1994), dari pemeriksaan fisik didapatkan kelainan berupa:
a)
Terowongan
berupa garis hitam, lurus, berkelok, atau terputus-putus, berbentuk benang.
b)
Papula,
urtika, ekskoriasi dalam perubahan eksematous ialah lesi-lesi sekunder yang
disebabkan sensitisasi terhadap parasit, serta ditemukan eksantem.
c)
Terlihat
infeksi bakteri sekunder dengan impetiginasi dan furunkulosis.
Lokasi
biasanya pada tempat dengan stratum
korneum yang tipis seperti: sela-sela jari tangan, pergelangan tangan
bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak bagian depan, areola mammae
(wanita), umbilikus, bokong, genitalia eksterna (pria) dan perut bagian bawah.
Pada bayi dapat menyerang telapak tangan dan kaki bahkan diseluruh permukaan
kulit, sedangkan pada remaja dan dewasa dapat timbul pada kulit kepala dan
wajah (Siregar, 2005).
Sifat-sifat lesi kulit berupa papula
dan vesikel milier sampai lentrikuler disertai ekskoriasi. Bila terjadi infeksi
sekunder tampak pustul lentrikuler. Lesi yang khas adalah terowongan
(kanalikulus) milier, tampak berasal dari salah satu papula atau vesikel,
panjang kira-kira 1 cm, berwarna putih abu-abu. Ujung kanalikuli adalah tempat
persembunyian dan bertelur Sarcoptes scabiei (Siregar, 2005).
3) Pemeriksaan mikroskopis
Menurut Tabri (2005), diagnosis pasti ditegakkan dengan
ditemukannya tungau pada pemeriksaan mikroskopis yang dapat dilakukan dengan
berbagai cara, yaitu:
a) Kerokan kulit.
Minyak mineral diteteskan di atas
papul atau terowongan baru yang masih utuh, kemudian dikerok dengan menggunakan
scalpel steril untuk mengangkat atap papul atau terowongan, lalu diletakkan di
atas gelas objek, di tutup dengan gelas penutup, dan diperiksa di bawah
mikroskop. Hasil positif apabila tampak tungau, telur, larva, nimfa, atau
skibala. Pemeriksaan harus dilakukan dengan hati-hati pada bayi dan anak-anak atau
pasien yang tidak kooperat.
b)
Mengambil
tungau dengan jarum.
Jarum dimasukkan ke dalam terowongan pada bagian yang gelap,
lalu digerakkan secara tangensial. Tungau akan memegang ujung jarum dan dapat
diangkat keluar.
c) Epidermal
shave biopsi
Mencari terowongan atau papul yang
dicurigai pada sela jari antara ibu jari dan jari telunjuk, lalu dengan
hati-hati diiris pada puncak lesi dengan scalpel no.16 yang dilakukan sejajar
dengan permukaan kulit. Biopsi dilakukan sangat superficial sehingga tidak terjadi perdarahan dan tidak memerlukan anestesi. Spesimen
kemudian diletakkan pada gelas objek, lalu ditetesi minyak mineral dan periksa
di bawah mikroskop.
d) Tes tinta Burrow.
Papul skabies dilapisi dengan tinta pena, kemudian segera
dihapus dengan alkohol. Jejak terowongan akan tampak sebagai garis yang
karakteristik berbelok-belok karena adanya tinta yang masuk. Tes ini mudah
sehingga dapat dikerjakan pada bayi/anak dan pasien nonkooperatif.
e) Kuretasi terowongan.
Kuretasi superficial sepanjang sumbu terowongan atau pada
puncak papul, lalu kerokan diperiksa dibawah mikroskop setelah ditetesi minyak
mineral. Cara ini dilakukan pada bayi, anak-anak dan pasien nonkooperatif.
4) Diagnosis Banding
Ada pendapat yang mengatakan penyakit skabies ini merupakan the great immitator karena dapat menyerupai banyak penyakit kulit dengan
keluhan gatal. Sebagai diagnosis
banding ialah: prurigo, pedikulosis korporis, dermatitis, dan lain-lain
(Handoko, 2008).
g.
Pencegahan dan pengobatan
Tungau
debu dapat dimusnahkan dengan cara hidup bersih dan sehat. Lakukan dengan
secara teratur upaya membersihkan dan mencuci barang-barang yang terdapat di
dalam rumah. Khususnya di ruang tidur dan ruang keluarga dan ruang lainnya.
Tempat tidur setiap hari dibersihkan,kalau perlu dijemur secara berkala dan
teratur. Upayakan kamar tidur dalam kondisi terang dan kering. Alat penyejuk
ruangan seperti AC juga dapat dimanfaatkan untuk mempertahankan kelembaban
udara menjadi rendah, yang membuat tungau tidak optimal berkembang (Saleha Sungkar, 2008).
Pengobatan untuk skabies
dapat menggunakan sulfur 5-10% efektif untuk membunuh stadium larva, limfa,
dan dewasa sehingga untuk mematikan larva dilakukan pengobatan selama minimal 3
hari agar larva yang menetas dari telurnya dapat dimatikan oleh obat tersebut.
Permetrin dalam krim 5% efektif untuk semua stadium dan relatif aman digunakan
pada anak-anak. Obat lain yang efektif untuk semua stadium adalah benzilbenzoat
20-25% dan krotamitom, tetapi obat ini relatif mahal.
10. Pinjal
A.
Pada
kucing(C. Felis )
Klasifikasi
Domain :
Eukaryota
Kingdom :
Animalia
Phylum :
Arthropoda
Class :
Insecta
Ordo :
Siphonaptera
Family :
Pulicidae
Genus :
Ctenocephalides
Species : C.
Felis
Morfologi
a.
Tidak bersayap,
memiliki tungkai panjang, dan koksa-koksa sangat besar
b.
Tubuh gepeng di
sebelah lateral dilengkapi banyak duri yang mengarah ke belakang dan rambut
keras.
c.
Sungut pendek dan
terletak dalam lekuk-lekuk di dalam kepala.
d.
Bagian mulut tipe
penghisap dengan 3 stilet penusuk.
e.
Metamorfosis sempurna
(telur-larva-pupa-imago).
f.
Telur tidak
berperekat, abdomen terdiri dari 10 ruas.
g.
Larva tidak bertungkai
kecil, dan keputihan.
h. Memiliki 2 ktinidia baik genal maupun pronatal.
Perbedaan jantan dan betina:
Perbedaan jantan dan betina:
·
Jantan : tubuh punya
ujung posterior seperti tombak yang mengarah ke atas, antena lebih panjang dari
betina
·
Betina : tubuh
berakhir bulat, antena lebih pendek dari jantan.
B.
Pinjal pada anjing(Ctenocephalides
canis)
Klasifikasi
Domain
: Eukaryota
Kingdom :
Animalia
Phylum :
Arthropoda
Class :
Insecta
Ordo :
Siphonaptera
Family :
Pulicidae
Genus :
Ctenocephalides
Species
: C. Canis
Morfologi
Pinjal pada anjing bersifat
mengganggu karena dapat menyebarkan Dipylidium caninum. Mereka biasanya
ditemukan di Eropa. Meskipun mereka memakan darah anjing dan kucing, mereka
kadang-kadang menggigit manusia. Mereka dapat hidup tanpa makanan selama
beberapa bulan, tetapi spesies betina harus memakan darah terlebih dahulu
sebelum menghasilkan telur.

Ctenocephalides canis
C.
Pinjal manusia (pulex
irritans )
Klasifikasi
Domain :
Eukaryota
Kingdom :
Animalia
Phylum :
Arthropoda
Class :
Insecta
Ordo :
Siphonaptera
Family :
Pulicidae
Genus :
Pulex
Species
: pulex irritans
Morfologi
Pulex irritans adalah pinjal manusia. Pinjal ini umum terdapat di
California dan kadang-kadang terdapat di kandang-kandang ayam. Pinjal tersebut
dapat menyerang banyak hewan lain termasuk babi, anjing, kucing dan tikus. Pinjal
ini membawa tifus endemic.
Pulex irritans yang makan pada inangnya bisa hidup selama 125 hari dan
tanpa makan tetapi tinggal pada lingkungan yang lembab dan dapat hidup selama
513 hari (Soviana dkk , 2003 ).
Spesies ini banyak menggigit
spesies mamalia dan burung, termasuk yang jinak ini telah ditemukan pada anjing
liar, monyet di penangkaran,, kucing rumah, ayam hitam dan tikus Nowrgia, tikus
liar, babi, kelelawar, dan spesies lainnya. Pinjal spesies ini juga dapat
menjadi inang antara cestode, d. Caninum.

Pulex irritans
D.
Pinjal tikus utara ( Nosopsyllus fasciatus)
Klasifikasi
Domain : Eukaryota
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Class : Insecta
Ordo : Siphonaptera
Family : Ceratophyllidae
Genus : Nosophyllus
Species : N.
Fasciatus
Morfologi
N.
Fasciatus memiliki tubuh memanjang,
panjangnya 3 hingga 4 mm. Memiliki pronotal ctenidium dengan 18-20 duri tapi
tidak memiliki ctenidium genal. Pinjal tikus utara memiliki mata dan sederet
tiga setae di bawah kepala. Kedua jenis kelamin memiliki tuberkulum menonjol di
bagian depan kepala. Tulang paha belakang memiliki 3-4 bulu pada permukaan
bagian dalam.
E.
Pinjal tikus oriental ( Xenopsylla cheopis)
Klasifikasi
Domain :
Eukaryota
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Class : Insecta
Ordo : Siphonaptera
Family : Pulicidae
Genus : Xenopsylla
Species : X.
Cheopis
Morfologi
Ciri-ciri umum dari jenis ini adalah tubuh berwarna coklat, gepeng pada
kedua lateral, tidak mempunyai sayap. Letakantenanya di celah bagiankepala.
MemPunyai tigapasangkaki, kaki belakang lebih panjang dari bagian depan. Bagian
posterior betina mempunyai ujung yang membulat. Mempunyai sebuah spermateka
seperti kantung dekat ujung posterior. Pada yang jantan bagian posterior
mempunyai ujung seperti tombak yang mengarah ke atas. Tergum kesembilan
mengalami modifikasi yang membentuk alat penjepit yang dipergunakan pada saat
kopulasi yaitu aedeagus.Pada tergum kesembilan ini pada betina maupun jantan
terdapat papan sensoris dorsal yang disebut pigidium (sensilium), yang tertutup
dengan bulu-bulu dan rambut-rambut. Berdasarkan bentuk, warnadan ciri-ciri
Xenopsyllacheopi yang didapatkan pada Pasar Raya Padang sama dengan yang
dikemukakan oleh Noble and Noble (1989), Levine (1990) dan Zaman (1997). Dari
hasil pengukuran panjang dan lebar tubuh didapatkan panjang tubuh berkisar 1,9-
2,6Mm (2,30±0,250), dengan lebar 0,8 - 1,2 Mm (1,03±0,141) pada R. Tanezumi dan
pada S. murinus panjang tubuh berkisar 1,9 - 2,3 mm (2,05±0,191), dengan lebar
0,9 - 1,2 (1,03±0,150).
.
(
Arengga, 2013 dan Entjang 2003)
Morfologi
secara umum
Menurut Sen & Fetcher (1962) pinjal yang masuk ke dalam sub spesies C.
felis formatipica memiliki dahi yang memanjang dan meruncing di ujung anterior.
Pinjal betina tidak memiliki rambut pendek di belakang lekuk antenna. Kaki belakang
dari sub spesies ini terdiri dari enam ruas dorsal dan manubriumnya tidak
melebar di apical, sedangkan pinjal yang masuk ke dalam sun spesies C. felis
formatipica memiliki dahi yang pendek dan melebar serta membulat di anterior.
Pinjal pada sub spesies ini memiliki jajaran rambut satu sampai delapan yang
pendek di belakang lekuk anten. Kaki belakang dari pinjal ini terdiri atas
tujuh ruas dorsal dan manubrium melebar di apical.
Pinjal merupakan insekta yang tidak memiliki sayap dengan tubuh berbentuk
pipih bilateral dengan panjang 1,5-4,0 mm, yang jantan biasanya lebih kecil
dari yang betina. Kedua jenis kelamin yang dewasa menghisap darah. Pinjal
mempunyai kritin yang tebal. Tiga segmen thoraks dikenal sebagai pronotum,
mesonotum dan metanotum (metathoraks). Segmen yang terakhir tersebut
berkembang, baik untuk menunjang kaki belakang yang mendorong pinjal tersebut
saat meloncat. Di belakang pronotum pada beberapa jenis terdapat sebaris duri
yang kuat berbentuk sisir, yaitu ktenedium pronotal. Sedangkan tepat diatas
alat mulut pada beberapa jenis terdapat sebaris duri kuat berbentuk sisir
lainnya, yaitu ktenedium genal. Duri-duri tersebut sangat berguna untuk
membedakan jenis pinjal.
Pinjal betina mempunyai sebuah spermateka seperti kantung dekat ujung posterior
abdomen sebagai tempat untuk menyimpan sperma, dan yang jantan mempunyai alat
seperti per melengkung , yaitu aedagus atau penis berkitin di lokasi yang sama.
Kedua jenis kelamin mmiliki struktur seperti jarum kasur yang terletak di
sebelah dorsal , yaitu pigidium pada tergit yang kesembilan. Fungsinya tidak
diketahui, tetapi barangkali sebagai alat sensorik.
Mulut pinjal bertipe penghisap dengan tiga silet penusuk (epifaring dan
stilet maksila). Pinjal memiliki
antenna yang pendek, terdiri atas tiga ruas yang tersembunyi ke dalam lekuk
kepala (Susanti, 2001).
(Bashofi, 2015 dan Entjang 2003)
Epidemiologi
Ditemukan
didaerah edemi. Di Indonesia pernah terjadi kasus penyakit ini di daerah Jawa
Tengah dan pada tahun 1968 dilaporkan epidemi yang melanda Boyolali dengan
banyak kematian (FKUI, 2008).
Siklus
hidup
Pinjal termasuk serangga Holometabolaus atau metamorphosis sempurna karena
daur hidupnya melalui 4 stadium yaitu : telur-larva-pupa-dewasa. Oleh karena
itu metamorfosis yang dialamai ialah metamorfosis sempurna (FKUI,2008). Pinjal betina bertelur diantara rambut inang.
Jumlah telur yang dikeluarkan pinjal betina berkisar antara 3-18 butir. Pinjal betina
dapat bertelur 2-6 kali sebanyak 400-500 butir selama hidupnya (Soviana dkk,
2003).
Tahap Telur
Seekor kutu betina dapat bertelur 50 telur per hari di hewan peliharaan.
Telurnya tidak lengket, mereka mudah jatuh dari hewan peliharaan dan menetas
dalam dua atau lima hari. Seekor betina dapat bertelur sekitar 1.500 telur di
dalam hidupnya. Telur berukuran panjang 0,5 mm, oval dan berwarna keputih-putihan.
Perkembangan telur bervariasi tergantung suhu dan kelembaban. Telur menetas
menjagi larva dalam waktu 2 hari atau lebih. Kerabang telur akan dipecahkan
oleh semacam duri (spina) yang terdapat pada kepala larva instar pertama.
Tahap Larva
Setelah menetas, larva akan menghindar dari sinar ke daerah yang gelap
sekitar rumah dan makan dari kotoran kutu loncat (darah kering yang dikeluarkan
dari kutu loncat). Larva akan tumbuh, ganti kulit dua kali dan membuat
kepompong dimana mereka tumbuh menjadi pupa.
Larva yang muncul bentuknya memanjang, langsing seperti ulat, terdiri atas
3 ruas toraks dan 10 ruas abdomen yang masing-masing dilengkapi dengan beberapa
bulu-bulu yang panjang. Ruas abdomen terakhir mempunyai dua tonjolan kait yang
disebut anal struts, berfungsi untuk memegang pada substrata tau untuk
lokomosi. Larva berwarna kuning krem dan sangat aktif, dan menghindari cahaya.
Larva mempunyai mulut untuk menggigit dan mengunyah makanan yang bisan berupa
darah kering, feses dan bahan organic lain yang jumlahnya cukup sedikit. Larva
dapat ditemukan di celah dan retahkan lantai, dibawah karpet dan tempat-tempat
serupa lainnya. Larva ini mengalami tiga kali pergantian kulit sebelum menjadi
pupa. Periode larva berlangsung selama 7-10 hari atau lebih tergantung suhu dan
kelembaban.
Larva dewasa panjangnya sekitar 6 mm. Larva ini akan menggulung hingga
berukuran sekitar 4×2 mm dan berubah menjadi pupa. Stadium pupa berlangsung
dalam waktu 10-17 hari pada suhu yang sesuai, tetapi bisa berbulan-bulan pada
suhu yang kurang optimal, dan pada suhu yang rendah bisa menyebabkan pinjal
tetap terbungkus di dalam kokon.
Tahap Pupa
Lama tahap ini rata-rata 8 sampai 9 hari. Tergantung dari kondisi cuaca,
ledakan populasi biasanya terjadi 5 sampai 6 minggu setelah cuaca mulai hangat.
Pupa tahap yang paling tahan dalam lingkungan dan dapat terus tidak aktif
sampai satu tahun.
Stadium pupa mempunyai tahapan yang tidak aktif atau makan, dan berada
dalam kokon yang tertutupi debris dan debu sekeliling. Stadium ini sensitive terhadap
adanya perubahan konsentrasi CO2 di lingkungan sekitarnya juga terhadap
getaran. Adanya perubahan yang signifikan terhadap kedua factor ini,
menyebabkan keluarnya pinjal dewasa dari kepompong. Hudson dan Prince (1984)
melaporkan pada suhu 26,6 °C, pinjal betina akan muncul dari kokon setelah 5-8
hari, sedangkan yang jantan setelah 7-10 hari.
Tahap Dewasa
Kutu loncat dewasa keluar dari kepompongnya waktu mereka merasa hangat,
getaran dan karbon dioksida yang menandakan ada host di sekitarnya. Setelah
mereka loncat ke host, kutu dewasa akan kawin dan memulai siklus baru. Siklus
keseluruhnya dapat dipendek secepatnya sampai 3-4 minggu. Umur rata-rata pinjal
sekitar 6 minggu, tetapi pada kondisi tertentu dapat berumur hingga 1 tahun.
Pinjal betina bertelur 20-28 buah/hari. Selama hidupnya seekor pinjal bisa
menghasilkan telur hingga 800 buah. Telur bisa saja jatuh dari tubuh kucing dan
menetas menjadi larva di retakan lantai atau celah kandang. Pertumbuhan larva
menjadi pupa kemudian berkembang jadi pinjal dewasa bervariasi antara 20-120
hari.
Perilaku pinjal secara umum merupakan parasit temporal, berada dalam tubuh
saat membutuhkan makanan dan tidak permanen. Jangka hidup pinjal bervariasi
pada spesies pinjal, tergantung dari makan atau tidaknya pinjal dan tergantung
pada derajat kelembaban lingkungan sekitarnya. Pinjal tidak makan dan tidak
dapat hidup lama di lingkungan kering tetapi di lingkungan lembab, bila
terdapat reruntuhan yang bisa menjadi tempat persembunyian maka pinjal bisa
hidup selama 1-4 bulan.
Pinjal tidak spesifik dalam memilih inangnya dan dapat makan pada inang
lain. Pada saat tidak menemukan kehadiran inang yang sesungguhnya dan pinjal
mau makan inang lain serta dapat bertahan hidup dalam periode lama (Soviana
dkk, 2003).
(Iskandar,
1985)
Diagnosa
Secara kasat mata pinjal agak sulit ditemui bila jumlah populasinya
sedikit, namun dapat dikenali dari kotorannya yang menempel pada bulu. Kotoran
kutu berwarna hitam yang sebenarnya merupakan darah kering yang dibuang kutu
dewasa. Pinjal yang menghisap darah inang juga menimbulkan rasa sangat gatal
karena ludah yang mengandung zat sejenis histamine dan mengiritasi kulit.
Akibatnya hewan terlihat sering menggaruk maupun mengigit daerah yang gatal
terutama di daerah ekor, selangkangan dan punggung.
Pinjal dapat mengganggu manusia dan hewan baik secara langsung maupun tidak
langsung. Secara langsung biasanya berupa reaksi kegatalan pada kulit dan
bentuk-bentuk kelainan kulit lainnya. Infestasi pinjal merupakan penyebab
kelainan kulit atau dermatitis yang khas. Reaksi ini merupakan reaksi
hipersensitifitas kulit terhadap komponen antigenik yang terdapat pada saliva
pinjal. Dermatitis ini biasanya juga diperparah dengan infeksi sekunder
sehingga dermatitis yang semula berupa dermatitis miliari, hiperpigmentasi dan
hiperkeratinasi dapat berlanjut dengan alopesia difus (kegundulan) akibat
penggarukan yang berlebihan.
Manusia sebagai inang asidental dapat menjadi sasaran gigitan pinjal. Dari
beberapa kasus yang pernah ditemui gigitan pinjal ke manusia terjadi akibat
manusia menempati rumah yang telah lama kosong, tidak terawat dan menjadi
sarang kucing atau tempat kucing/ anjing beranak.
Pupa pinjal dapat bertahan di alam tanpa keberadaan inangnya, akan tetapi
sangat sensitive terhadap perubahan kadar CO2 dan vibrasi. Sehingga begitu
terdeteksi perubahan factor tersebut, pupa tahap akhir yang telah siap menjadi
dewasa segera keluar dari kulit pelindungnya untuk mencari dan menghisap darah
inangnya. Itulah sebabnya serangan pinjal terhadap manusia umumnya terjadi pada
keadaan tersebut.
Selain gangguan langsung, pinjal juga berperan di dalam proses penularan
beberapa penyakit yang berbahaya bagi manusia dan hewan. Contohnya adalah
penyakit klasik Bubonic plaque atau pes yang disebabkan oleh Pasteurella pestis
ditularkan oleh pinjal Xenopsylla cheopis. Jenis-jenis pinjal yang lain secara
eksperimental dapat menularkan penyakit tetapi dianggap bukan vektor alami
(Soviana dkk, 2003).
Pinjal juga dapat menimbulkan alergi oleh karena reaksi hipersensitivitas
terhadap antigen ludah pinjal. Pada anjing sering ditandai dengan gigitan
secara berlebihan sehingga dapat mengakibatkan bulu rontok dan peradangan pada
kulit. Kasus flea allergy bervariasi tergantung kondisi cuaca terutama terjadi
pada musim panas dimana populasi kutu meningkat tajam.
Menurut (FKUI, 2008 ) pinjal menginfeksi manusia melalui tinja yang
mengandung Y. Pestis yang masuk melalui gigitan (anterior inokulatif dan
posterior kontaminatif). Penyakit yang berhubungan dengan pinjal yaitu Pes.
Vektor pes adalah pinjal. Di Indonesia saat ini ada 4 jenis pinjal yaitu:
Xenopsylla cheopis, Culex iritans, Neopsylla sondaica, dan Stivalus cognatus.
Reservoir utama dari penyakit pes adalah hewan-hewan rodent (tikus, kelinci).
Kucing di Amerika juga pada bajing. Secara alamiah penyakit pes dapat bertahan
atau terpelihara pada rodent. Kuman-kuman pes yang terdapat di dalam darah
tikus sakit,dapat ditularkan ke hewan lain atau manusia, apabila ada pinjal
yang menghisap darah tikus yang mengandung kuman pes tadi, dan kuman-kuman
tersebut akan dipindahkan ke hewan tikus lain atau manusia dengan cara yang
sama yaitu melalui gigitan.
Selain pes, pinjal bisa menjadi vektor penyakit-penyakit manusia, seperti
murine typhus yang dipindahkan dari tikus ke manusia. Disamping itu pinjal bisa
berfungsi sebagai penjamu perantara untuk beberapa jenis cacing pita anjing dan
tikus, yang kadang-kadang juga bisa menginfeksi manusia. Oleh karena itu,
penyakit pes sebenarnya adalah penyakit tikus(zoonosis) (FKUI, 2008).
Selain pada manusia pinjal juga dapat mempengaruhi kesehatan hewan
peliharaan seperti di bawah ini:
1.
Flea Allergy Dermatitis (FAD)
FAD
merupakan penyakit yang disebabkan oleh gigitan pinjal (Siphonaptera) dengan
gejala klinis pruritus dan papula di kulit (Lane et al. 2008). Menurut Hadi
& Soviana (2010), beberapa pinjal
utama yang menimbulkan masalah di Indonesia adalah Pulex irritans , Ctenocephalides felis
, Ctenocephalides canis, dan Xenopsylla cheopis. Pinjal selain menyebabkan
gangguan pada kucingjuga mengganggu manusia. Chin et al. (2010) melaporkan enam
mahasiswa laki-laki di Kuala Lumpur
terinfestasi C. felis dengan
gejala klinis berupa pruritus dan maculopapular Pinjal juga berperan sebagai
inang antara cacing pita Dipyllidium caninum (Gupta et al. 2008).
2.
Cacing Pita; Dipylidium canium.
Cacing pita (tapeworm) disalurkan oleh pinjal pada
tahap larva waktu makan di lingkungan hewan peliharaan. Telur-telur tumbuh di
dalam kehidupan yang tidak aktif dalam perkembangan pinjal ini. Jika pinjal ini
di ingested oleh hewan peliharaan waktu digrooming, cacing pita dan terus
menerus berkembang menjadi cacing dewasa di usus hewan peliharaan
3.
Anemia; terjadi pada yang muda, yang tua atau pun yang
sakit jika terlalu banyak kutu loncat yang menghisap darahnya. Gejala anemia
termasuk, gusi pucat, lemas dan lesu pada hewan peliharaan
(Iskandar,
1985).
Pengobatan
Pengobatan dilakukan dengan obat anti kutu. Obat anti kutu hanya membunuh
pinjal dewasa, pemberian obat anti kutu perlu disesuaikan agar siklus hidup
pinjal bisa kita hentikan. Pemberian obat perlu diulang agar pinjal dewasa yang
berkembang dari telur dapat segera dibasmi sebelum menghasilkan telur lagi
(FKUI,2008).
Pencegahan
Untuk
mencegah penyebaran penyebaran penyakit yang disebabkan oleh pinjal maka perlu dilakukan
tindakan pengendalian terhadap arthopoda tersebut. Upaya yang dapat dilakukan,
antara lain melalui penggunaan insektisida, dalm hal ini DDT, Diazinon 2% dan
Malathion 5% penggunan repllent (misalnya, diethyl toluamide dan benzyl
benzoate) dan pengendalian terhadap hewan pengerat (rodent).
Selain itu,
dapat juga dengan cara:
Mekanik atau
Fisik
Pengendalian
pinjal secara mekanik atau fisik dilakukan dengan cara membersihkan karpet,
alas kandang, daerah di dalam rumah yang biasa disinggahi tikus atau hewan lain
dengan menggunakan vaccum cleaner berkekuatan penuh, yang bertujuan untuk
membersihkan telur, larva dan pupa pinjal yang ada. Sedangkan tindakan fisik
dilakukan dengan menjaga sanitasi kandang dan lingkungan sekitar hewan piaraan,
member nutrisi yang bergizi tinggi untuk meningkatkan daya tahan hewan juga
perlindungan dari kontak hewan peliharaan dengan hewan liar atau tidak terawat
lain di sekitarnya (Komariah, 2010).
Kimia
Pengendalian
tikus secara kimiawi dilakukan dengan menggunakan umpan beracun. Pengendalian
tikus dengan menggunakan umpan beracun atau penangkap berumpan racun mempunyai
efek sementara. Pengendalian tikus dengan umpan beracun sebaiknya sebagai
pilihan terakhir. Bila tidak teliti cara pengendalian ini sering menimbulkan bau
tidak sedap akibat bangkai yang tidak segera ditemukan
(Komariah, 2010).
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Vektor
adalah organisme hidup yang dapat menularkan agen penyakit dari suatu hewan ke
hewan lain atau manusia. Organisme yang berperan sebagai vektor penyakit yaitu
arthropoda, yang sebagian dibawa oleh tikus (seperti pinjal dan kutu). Vektor
berperan penting dalam penularan berbagai penyakit parasit dan virus berbahaya,
seperti malaria, Demam Berdarah Dengue (DBD), serta berbagai jenis penyakit
berbahaya lainnya yang biasa disebut vector-borne diseases atau arthropod-borne
diseases. Peran vektor yang signifikan dalam penularan penyakit menyebabkan
diperlukannya pengendalian vektor secara efektif. Pengendalian vektor secara
umum dapat dilakukan secara lingkungan, kimiawi, biologi, genetik, penggunaan
perangkap, dan penggunaan racun. Pengendalian secara terpadu dapat dilakukan
untuk mencapai keefektifan dalam pemberantasan vektor penyakit.
GLOSARIUM
Mesonotum
: garis putih pada yamuk Aedes
aegypti.
Akral :ujung
dari ekstremitas (tangan dan kaki), artinya akral merupakan ujung dari jari-jari kaki dan tangan manusia.
Intestinum : usus.
Belalai (proboscis): bagian tubuh yang
memanjang dari kepala hewan, baik vertebrata maupun invertebrata.
Trombositopenia : istilah medis yang
digunakan untuk penurunan jumlah platelet dalam darah di bawah batas minimal.
Hemokonsentrasi
: di mana terdapat lebih sedikit plasma bagian yang cair dari darah dan lebih banyak sel darah merah di dalam
darah.
Abate :nama dagang dari temefos, suatu
insektisida golongan organofosfat yang efektif membunuh larva nyamuk atau
insekta air lainnya. Biasanya berbentuk bubuk kristal dan segera larut setelah
dimasukkan ke dalam air.
Antenna : alat
peraba atau perasa berbentuk sungut di atas kepala, dan pada umumnya terdapat pada kelompok binatang yang
tubuhnya beruas-ruas; sepasang organ yang beruas-ruas yang tumbuh di bagian
sisi kepala.
Copepoda : grup
crustacea kecil yang dapat ditemukan di laut dan hampir semua habitat air tawar
dan mereka membentuk sumber terbesar protein di samudera.
Hospes :
organisme hidup yang digunakan sebagai tempat berkembang dan tumbuhnya suatu
gen pathogen.
Kista : suatu
selaput yang membentuk kantung tertutup berisi kuman yang tumbuh secara tidak
normal dalam suatu jaringan atau rongga badan; pembengkakan yang terjadi pada
jaringan tubuh yang berongga dan berisi cairan kental menyerupai bubur.
Molting : proses
kompleks dan dikendalikan oleh hormon-hormon tertentu dalam tubuh serangga.
Spermatopora : kapsul yang terdiri atas bahan albumin dan
berisi sejumlah sperma.
Asfiksia :kematian
yang disebabkan tidak adanya oksigen.
Chelicera :salah satu pasangan anterior organ
mulut, diakhiri oleh cakar pincherlike, dalam kalajengking dan sekutu
Arachnida. Mereka homolog dengan falcers laba-laba dan mungkin dengan rahang
serangga.
Dorsal :berhubungan
dengan punggung dan bagian-bagian lainnya.
Ekdisis :pergantian kulit; tindakan
melepaskan kutikula, kulit atau kerangka luar yang dilakukan secara berkala.
Etiologi :bagian dari ilmu fitopatologi yang
memperlajari tentang penyebab utama penyakit, sifat, ciri, dan hubungannya
dengan inang.
Hypostome :mulut yang
terletak di bagian bawah.
Kapitulum :ujung persendian kecil pada tulang
yang membentuk persendian; perbesaran ujung tulang yang membentuk seperti
tombol.
Nekrosis :keadaan
sakit yang disebabkan kematian pada sebagian jaringan.
Nimfa :serangga muda yang keluar dari
telur dengan bentuk morfologi yang relatif maju; stadium perkembangan serangga
yang bentuknya hampir menyerupai stadium dewasa.
Paralisis :kelumpuhan; hilangnya kemampuan
untuk melakukan gerakan karena cedera atau penyakit yang menyerang syaraf.
Pedipalpa :organ tambahan pada kepala yang
berfungsi sebagai alat untuk menangkap mangsa.
Pestisida :bahan kimia yang digunakan untuk
menahan pertumbuhan atau mematikan hama dan pathogen.
Sengkenit :kutu pada
domba dan sebagainya.
Anterior :
bagian depan tubuh, dekat dengan kepala.
Flea :
pinjal.
Infeksi :
parasit masuk kedalam tubuh hospes dan terjadi parasitisme.
Larva :
tahap perkembangan yang bebas, bergerak, dan kadang-kadang makan pada riwayat
hidup binatang.
Siklus : Suatu
proses yang melibatkan beberapa komponen dan cara terus menerus.
Metamorfosis
: perubahan ukuran dan bentuk tubuh
Insecta saat berkembang dari muda menjadi dewasa.
Morfologi : cabang biologi mempelajari bentuk
dan susunan luar makhluk hidup.
Posterior : bagian belakang tubuh, dekat
dengan ekor
Vektor : inang perantara bagi
perkembangan suatu hewan dapat
menginfeksi inang yang sesungguhnya.
Xenopsylla : suatu genus pinjal ordo siphonaptera,
contoh X. Cheopsis: pinjal pada tikus hitam.
Zoonosis : zoo-hewan, nosos- penyakit. Suatu
penyakit pada hewan yang dapat ditularkan pada manusia, parasit hewan yang
dapat ditularkan kepada manusia.
Klasifikasi : suatu cara
pengelompokan yang didasarkan pada ciri-ciri tertentu.
Epidemiologi : ilmu yang mempelajari pola kesehatan dan penyakit serta fakor
yang terkait di tingkat populasi.
Organisme fototropik : organisme yang memanfaatkan energi cahaya untuk mensintesis
kebutuhan organiknya
Morfologi : ilmu pengetahuan tentang bentuk luar dan susunan makhluk
hidup
Metamorfosis : suatu proses perkembangan biologi
pada hewan yang melibatkan perubahan penampilan fisik dan/atau struktur setelah
kelahiran atau penetasan
Patologi : ilmu
yang mempelajari mengenai penyakit dan dengan demikian menyangkut analisis dan
pengambilan sampel jaringan, sel, dan cairan tubuh
Arthropod-borne
Diseases : penyakit yang
disebabkan oleh arthropoda
Sanitary Landfill : membuang dan menumpuk
sampah ke suatu lokasi yang cekung, memadatkan sampah tersebut kemudian
menutupnya dengan tanah.
Insektisida: bahan-bahan kimia bersifat racun yang dipakai untuk membunuh
serangga.
DAFTAR PUSTAKA
Anindiastuti,
Soedarsono dan A.W. Kadek. 2002. Budidaya Fitoplankton dan Zooplankton, Seri
Budidaya Laut no:9. Lampung : Balai Budidaya Laut.
Anonim,
2004. Teori Parasitologi. Semarang: Akademi Analisis Kesehatan. Universitas
Muhamadiyah Semarang.
Berman,
K. 2014. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/ 000841.htm.
Diakses pada tanggal 25 Mei 2016.
Boesri, hasan.
2011. “Biologi dan Peranan Aedes albopictus (Skuse) 1894 sebagai
Penular Penyakit”. Vol. 3 No. 2 Tahun 2011 : 117-125.
Borror, D.J.,
C.A. Triplehorn, N.F. Johnson. 1992. An Introduction to study of insects.
Harcourt Brace College Publisher.
Brown, W., K., 2006. Pubic Lice. http://www.williamgladdenfoundation.org
/images/Image/user/publiclice.doc.
Diakses pada tanggal 25 Mei 2016.
Brown, Harold W. 1979. Basic Clinical Parasitology. 3rd Edition. Jakarta: Gramedia.
Budiman,
Chandra. 2005. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta : Penerbit Buku
Kedoteran EGC
Chandra, Budiman.
2006. Ilmu Kedokteran Pencegahan dan Komunitas. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.
Chandra, Budiman. 2006. Pengantar Kesehatan
Lingkungan. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Chwatt Bruce, L.J. 1980.Essential Malariology. William
Heinemann Medical Book Ltd. London
Centers for
Disease Control and Prevention. 2010. Anopheles mosquitoes. http://www.cdc.gov/malaria/about/biology/mosquitoes/index.html.
Diakses tanggal 27 Mei 2016.
Centers for
Disease Control and Prevention. (2010). Malaria facts. http://www.cdc.gov/malaria/about/facts.html.
Diakses 27 Mei 2016.
CDC (Centers for
Disease Control and Prevention). 2013. Bed Bugs, Cimex hemipterus. http://www.cdc.gov/dpdx/bedbugs/index.html. Diakses pada
tanggal 25 Mei 2016.
CDC (Centers for
Disease Control and Prevention ). 2013. Phthiriasis (Phthirus pubis). http://www.cdc.gov/dpdx/ phthiriasis/. Diakses pada
tanggal 26 Mei 2016.
Departement of
Health, victoria, Australia. 2011. Treating and controlling head lice. http://health.vic.gov.au/headlice/. Diakses
tanggal 26 Mei 2016.
Despommier DD,
Gwads RW, Hotez PJ, Knirsch CA. 2000. Parasitic diseases. 4th
edition. New York: Apple Trees Producations.
Departemen
Parasitologi FKUI. 2008. Parasitologi Kedokteran. Edisi Keempat.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Natadisastra Djaenudin, Agoes Ridad. 2009. Parasitologi
Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Dewi, Dian Indra. 2008. “chikungunya”. download.portalgaruda.org/article.php?article=79252&val=4897.pdf.
diakses tanggal 26 mei
2016.
Flynn,
J.R., 1973. Parasites of Laboratory Animal. The Iowa State University Press,
USA.
Foster, R., dan Smith, 2000.
Sarcoptic Mange. http://www.peteducation.com/
article.cfm [20 Desember 2011].
Frankowski,
Barbara L., Joseph A. Bocchini, Jr and Council on School Health and Committee
on Infectious Diseases. Head Lice. Journal Pediatrics. Hal : 392-403.
Grant, D.I., 1986. Skin Disease in
The Dog and Cat. Black Well Scientific Publications Oxford, London.
Gullan & P.S. Cranston.(1994). The insect: An outline
of entomology. London: Chapman & Hall.
Hopp, M.J &
Foley, J.A. (2001). “Global scale
relationships between Climate and the dengue fever Vector, Aedes aegypti”.
Climate change 48 : 441-468. Kluwer Academic Publisher, Netherlands.
Harrison, B. A.
& Scanlon, J. E.. (1975). The subgenus anopheles in Thailand (Diptera:
Culicudae). Contrib. Of the American
Entomol. Inst., 12 (1), 186-190.
Hadi, A. 2001. Vektor borne Disease. Universitas Indonesia.
Depok.
Hendrix, C.M., dan E. Robinson.
2006. Diagnostic Parasitology for Veterinary Technicians. 3rd
Ed. Mosby Inc. an affiliate Elsevier Inc.
Heni, Prasetyowati. 2007. “
Kehidupan Nyamuk Culex”. Ciamis. Balitbangkes Depkes RI. Vol. 2, No. 2.
Desember 2007.
Indrawati,Sendow, dkk. 2003.
“Epidemiologi Penyakit Japanese B- Encephalitis pada Babi di Propinsi Riau dan
Sumatera Utara”. Vol. 8, No 1, 14, Pebruari 2003: 64-70
Ismanto, Hari, dan Bina Ikawati.
2009. Caplak Keras (Hard Ticks) Sebagai Vektor Penyakit. Jurnal BALABA
Vol. 5, No. 02, Desember 2009: 22-23, http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/blb/article/view/1745/3316 diakses 26 Mei 2016.
Krantz, G. W. 1978. A Manual of
Acarology. 2nd ed. Oregon State University Book Store, Inc.
Corvalis
Kartikasari.
2008. Dampak Vektor Lalat Terhadap Kesehatan. Universitas Sumatera
Utara. jtptunimus-gdl-s1-2008-kartikasar-521-2-bab1. Diakses tanggal 7 April
2016.
Komariah, Septiani Pratita dan Tan Malaka. 2010.
Pengendalian vektor. Jurnal kesehatan bina husada vol. 6 n0. 1 maret 2010,
34-43.
Lakshmi
Vemus, et all. 2008. “Clinical Features and Molecular Diagnosis of Chikungunya
Fever from South India”. Vol 46.
Lavens,
P. dan P. SOrgeloos. 1996. Manual on the Production and Use of Live Food For
Aquaculture. FAO Fisheries Technical Paper. No. 301. 295p.
Leuvine,
N. D.1990. Parasitologi Veteriner. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Muller, G.H and R.W. Kirk. 1976.
Small Animal Dermatology. W.B. Sounders Company, Philadelphia.
Natadisastra,
D., Agoes, R. 2009. Parasitologi Kedokteran: Ditinjau Dari Organ Tubuh yang
Diserang. Jakarta: EGC.
Nuttall, G., H. 2009. The Biology of Phthirus pubis. Cambridge
Journal .Vol 10(3): 383-405.
Natadisastra, Djaenudin, dr.,
Sp.ParK, dan Prof. Dr. Ridad Agoes, MPH. 2005. Parasitologi Kedokteran:
Ditinjau dari Organ Tubuh yang Diserang. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Nurmaini. 2001.Identifikasi vektor
dan binatang pengganggu serta pengendalian anopheles Aconitus secara sederhana.http://www.solex-un.net/repository/id/hlth/CR6-Res3-ind.pdf.Diakses pada tanggal 23 Mei 2013.
Oktora, S., 2009. Scabies pada Hewan
Peliharaan http://pietklinik.com/ [23
Mei 2016].
Pusat data dan surveilans epidemiologi
kementerian kesehatan RI. 2010. “Demam berdarah dengue”. Volume 2.
Pei G, Oliveira
CM, Yuan Z, Nielsen-LeRoux C, Silva-Filha MH, Yan J, Rgis L. 2002. A strain of Bacillus sphaericus causes slower
development of resistance in Culex
quinquefasciatus. Appl Microbiol. 68:3003-9.
Rahman, W. A.,
Adanan, C. R., & Abu, H. A. (1997). Malaria and anopheles mosquitoes in
Malaysia, Southeast Asian. J. Trop. Med. Public Health, 28 (3), 599-604.
Radlofi PD,
Philips J, Nkeyi M, Hutchinson D, Kremsher PG. 1990. Atavaquone and proguanil for Plasmodium falciparum malaria. Lencet.
Vol 347: 1695-170.
Robinson, W.,
H. 2005. Urban Insects and Arachnids: A Handbook of Urban Entomology.
Cambridge: University Press.
Santi,
D.N. 2001. Manajemen Pengendalian Lalat. Fakultas Kedokteran. Universitas
Sumatera Utara.
Service,
M. W. (1996). Medical entomology for students. First ed. London: Chapman
& Hall.
Siregar Faizah A. 2004. “ Epidemiologi dan Pemberantasan
Demam Berdarah Dengue (DBD) di
Indonesia”. USU.
Soedarto.
2011. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran.
Jakarta: Sagung Seto.
Soewondo,
E.S. 1998. Demam Berdarah Dengue pada
Orang Dewasa, Gejala Klinik dan Penatalaksanaannya. Seminar Demam
Berdarah Dengue. TDC-UNAIR. Surabaya. hal.23-38.
Soulsby, E.J.L. 1982. Helminth,
Arthopods and Protozoa of Domesticated Animal. Balliere Tindall, London.
Stedman's
Medical Spellchecker. (2006). Lippincott Williams & Wilkins. All rights reserved.
Subronto, 2008. Ilmu Penyakit Ternak
1-b. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Sutanto, Inge dkk.
2008. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran : Edisi Keempat. Jakarta.
Tjitra E.
2000. obat anti malaria, Dalam:
Harijanto PN (editor) Malaria, Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis,
dan Penanganan. Penerbit Buku Kodekteran
EGC. Jakarta. 194-223.
UNILA.
Aedes aegypti. digilib.unila.ac.id/2872/12/BAB%20II.pdf, diakses tanggal 26 mei 2016.
UNIMUS. Anopheles. digilib.unimus.ac.id/download.php?id=5765.
Diakses tanggal 27 Mei 2016.
Urguhart,
G. M., J. Armour, J.L. Duncan., A.m. Dunn and F.W. Jennings. 1987. Veterinary
Parasitology. Churchill Livingstone Inc. Newyork.
Vredove, L. 1997. Background
Information on the Biology of Ticks. http://entomology.ucdavis.edu/faculty/rbkimsey/tickbio.html.
Weems, H. V.
Jr. and T. R. Fasulo. 2013. Human Lice: Body Louse, Pediculus humanus humanus
Linnaeus and Head Louse, Pediculus humanus capitis De Geer (Insecta:
Phthiraptera (=Anoplura): Pediculidae). Ifas Extension. University Of Florida.
Weems, H., V.
2013. Pthirus pubis. http://entnemdept.ufl.edu/ creatures/urban/crab_louse.html. Diakses pada tanggal 8 April
2014.
Wijayati,
Fitriana. 2007. Hubungan Antara Perilaku Sehat dengan Angka Kejadian
Pedikulosis Kapitis pada Santriwati Pondok Pesantren Darul ‘Ulum Jombang.
Skripsi. Universitas Jember. Jember.
Widiyono.
2011. Penyakit Tropis. Jakarta: Penerbit Buku Erlangga.
Widiastuti, Dyah. 2008. Caplak,
Tidak Hanya Membuat Gatal. Jurnal BALABA Ed. 006, No 01, Juni 2008 : 18, http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/blb/article/view/2600/2552
diakses 26 Mei 2016.
Williams, R. E., R.D. Hall, A.B.
Broce, P.J.Scholl. 1985. Livestock Entomology. John Wiley & Sons. New York.